e. Kepemilikan Akta Kelahiran

Jumlah penduduk usia 0-4 tahun yang memiliki akta kelahiran di 30 provinsi di Indonesia. Secara umum, dapat dilihat bahwa tingkat kepemilikan akta kelahiran bervariasi antara 18,90 persen sampai dengan 79,45 persen, dengan rata-rata sebesar 42,82 persen. Provinsi yang tingkat kepemilikan akta kelahirannya tertinggi adalah DI Yogyakarta sebesar 79,45 persen dan Provinsi yang terendah adalah Sumatera Utara sebesar 18,90 persen (Supas 2005).

Kepemilikan akta kelahiran dapat dilihat dalam tebel berikut:

Provinsi


Penduduk 0 - 4 Tahun   

Jumlah

Memiliki Akta Kelahiran


Banyaknya

Persentase
Sumatera Utara
543.768
 135.028
         24,83
Sumatera Barat
     134.858
60.695
 45,01
Riau
  193.580
       86.435
         44,65
Jambi
      75.847
       57.979
         76,44
Sumatera Selatan
     194.065
     101.592
        52,35
Bengkulu
      39.033
       25.504
         65,34
Lampung
    147.400
       76.502
         51,90
Kep. Bangka Belitung
      37.398
     28.873
         77,20
Kepulauan Riau
    111.823
       73.461
         65,69
DKI Jakarta
     714.565
     595.908
         83,39
Jawa Barat
  1.760.374
     999.113
        56,76
Jawa Tengah
     995.145
     623.053
         62,61
DI Yogyakarta
     122.654
       99.563
        81,17
Jawa Timur
  1.170.912
     820.122
         70,04
Banten
     439.072
     274.338
         62,48
Bali
     158.819
      84.285
        53,07
Nusa Tenggara Barat
     156.525
      47.414
         30,29
Nusa Tenggara Timur
3.183
       29.117
         39,79
Kalimantan Barat
     108.688
       62.884
         57,86
Kalimantan Tengah
      55.044
       28.008
         50,88
Kalimantan Selatan
    129.535
       74.280
         57,34
Kalimantan Timur
    169.079
     110.864
         65,57
Sulawesi Utara
      72.452
       39.225
        54,14
Sulawesi Tengah
      48.594
       24.369
         50,15
Sulawesi Selatan
     258.485
     120.497
         46,62
Sulawesi Tenggara
      45.213
       19.435
        42,99
Gorontalo
      25.391
         8.698
         34,26
Maluku
      36.780
       20.010
         54,40
Maluku Utara
      23.518
       12.611
         53,62
Papua
      75.866
       45.169
         59,54
Jumlah
8.117.666
 4.785.032
         58,95
Sumber: SUPAS BPS: 2005)          

f. Anak Korban Kekerasan [Fisik dan Mental] dan Perlakuan Salah [child abuse]

      Secara nasional selama tahun 2006 telah terjadi sekitar 2,81 juta tindak kekerasan dan sekitar 2,29 juta anak pernah menjadi korbannya.
      Jumlah tersebut jika dibandingkan dengan jumlah anak menunjukkan besarnya angka korban kekerasan terhadap anak pada tahun 2006 mencapai 3%, yang berarti setiap 1000 anak terdapat sekitar 30 orang pernah menjadi korban tindak kekerasan.
      Angka korban kekerasan korban anak di perdesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan yakni 3,2 berbanding 2,8%. Sedangkan angka korban kekerasan pada anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan yaitu 3,1 berbanding 2,9%.

g.    Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat
   Adikitif Lainnya  [Napza]

Jumlah kasus penyalahgunaan narkoba yang terlaporkan terus meningkat. Pada tahun 1999 berjumlah 1.833 kasus, tahun 2000 berjumlah 3.478 kasus dan pada tahun 2001 berjumlah 3.617 kasus [sumber data Badan Narkotika Nasional], sedangkan menurut data Pusdatin Kesos Tahun 2002 jumlah korban penyalahgunaan Narkoba tercatat sebanyak 23.660 orang. Perkiraan usia pengguna Napza terbesar 15 – 24 tahun (BNN, 2004). Pengguna Napza pada tahun 2005 diperkirakan sekitar 2,9 – 3,6 juta orang (BNN, 2005).

Fakta yang paling memprihatinkan adalah semakin banyaknya remaja yang memulai perkenalannya dengan narkoba pada usia yang sangat muda, yaitu : menghisap rokok pada usia 6 tahun dan menggunakan obat obat-obatan / heroin / narkoba jenis lain pada usia 10 tahun. Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian yang serius adalah semakin meningkatnya populasi penderita HIV/AIDS di kalangan pecandu, narkoba dengan cara suntikan (IDU).

Menurut laporan saat ini ada 50 % - 78 %  pengguna narkoba jarum suntikan adalah pengidap HIV (Djauhari dan Djoerban, 2002 dalam website Ditjen Pelayanan dan Rehab Sosial, Depsos RI, 2008).

Estimasi Departemen Kesehatan pada tahun 2006 menyebutkan terdapat antara 191.000 sampai 248.000 penasun di Indonesia. Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjuk kepada angka 508.000 pada tahun yang sama. Penasun masih terkonsentrasi di daerah perkotaan di Jawa dan kota-kota provinsi di luar Jawa. (Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 2007 – 2010,  2007).

Karakteristik penyalahguna Napza di kalangan siswa dan mahasiswa menunjukkan bahwa lebih dari separuh penyalahguna Napza berada pada kelompok usia 15-19 tahun (58%), terutama pada mereka yang duduk di bangku SLTA (94%). Pada kelompok usia kurang dari 15 tahun penyalahguna lebih banyak berada di kabupaten, sedangkan pada kelompok usia diatas 20 tahun lebih banyak ada di kota. 

Diperkirakan angka penyalahguna Napza suntik ada sekitar 2 dari 1000 pelajar/mahasiswa yang disurvei atau sekitar 2,4% dari yang pernah menyalahgunakan Napza. Irjabar (5 per 1000) dan Maluku (4 per 1000) adalah propinsi yang paling banyak ditemukan angka penyalahguna Napza cara suntik. Di tingkat SLTP ada 2 propinsi yang cukup tinggi yaitu NTT dan Irjabar sekitar 4 per 1000 responden. Di tingkat SLTA, di Papua ada sekitar 8 dari 1000 responden yang pernah menyuntik. Selanjutnya DKI Yogyakarta (16 per 1000), DKI Jakarta (15 per 1000), dan Jawa Tengah (14 per 1000) adalah 3 propinsi tertinggi angka menyuntiknya di PT (Survey Nasional Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba pada Kelompok Pelajar dan Mahasiswa di Indonesia, BNN, 2006).






       
h.  Anak Jalanan

Berdasarkan data PMKS 2007, Departemen Sosial RI menunjukkan jumlah anak jalanan di seluruh Indonesia pada tahun 2007 berjumlah 104.497 anak. Jumlah anak jalanan terbanyak berturut-turut adalah Jawa Timur 13.136 anak, Nusa Tenggara Barat 12.307 anak, dan Nusa Tenggara Timur 11.889 anak. Sedangkan 3 propinsi dengan jumlah anak jalanan paling sedikit berturut-turut adalah Kalimantan Tengah 10 anak, Gorontalo 66 anak, dan Kepulauan Riau 186 anak.

Pada tahun 2006, data PMKS menunjukkan di seluruh Indonesia ada 144.889 anak jalanan. Dibandingkan dengan angka tahun 2007 (104.497 anak) berarti ada penurunan jumlah yang cukup signifikan sebesar 30%. Penurunan terbesar terutama terjadi pada propinsi Maluku, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Adapun penyediaan rumah singgah pada tahun 2007 hanya menampung kira-kira 12% dari jumlah anak jalanan seluruhnya. 

Jumlah Anak Jalanan seluruh Indonesia Tahun 2007

No
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA

ANAK JALANAN
[jiwa]

1
Nanggroe Aceh Darussalam
608
2
Sumatera Utara
4.525
3
Sumatera Barat
6.330
4
Riau
914
5
Jambi
1.756
6
Sumatera Selatan
1.764
7
Bengkulu
794
8
Lampung
1.096
9
Bangka Belitung
191
10
Kepulauan Riau
186
11
DKI Jakarta
4.478
12
Jawa Barat
6.428
13
Jawa Tengah
10.025
14
DI Yogyakarta
1.305
15
Jawa Timur
13.136
16
Banten
2.492
17
Bali
680
18
Nusa Tenggara Barat
12.307
19
Nusa Tenggara Timur
11.889
20
Kalimantan Barat
3.240
21
Kalimantan Tengah
10
22
Kalimantan Selatan
3.671
23
Kalimantan Timur
1.330
24
Sulawesi Utara
451
25
Sulawesi Tengah
2.652
26
Sulawesi Selatan
3.931
27
Sulawesi Tenggara
2.254
28
Gorontalo
66
29
Sulawesi Barat
249
30
Maluku
2.728
31
Maluku Utara
2.430
32
Papua Barat
227
33
Papua 
354
TOTAL
104.497

 [Data PMKS 2007, Departemen Sosial RI]



i.   Anak yang Berhadapan dengan Hukum

Anak yang berhadapan dengan hukum dapat juga berupa akasus Napza (Narkotika, Psikotropika & Bahan Berbahaya) di Indonesia yang tercatat pada 2001 – 2007 mengalami peningkatan setiap tahunnya. Data tahun 2007 menunjukkan jumlah 22.630 kasus di wilayah propinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara, Jawa Barat dan Riau (Dit IV Narkoba & KT Bareskrim Polri, 2008). Berdasarkan kelompok usia pelaku kasus tindak pidana Napza, maka 2 kelompok usia termuda yang terlibat adalah < 16 tahun sebesar 110 kasus dan 16 – 19 tahun sebesar 2.617 kasus.

Tindak Pidana yang Dilakukan Anak
(Data Lapas Tangerang dan Pondok Bambu)


Kategori
Tindak Pidana

2002
[Tangerang]
2006
[Pondok Bambu]

Pencurian


85

44,74%

111

31,27%

Napza


55

27,37%

148

41,69%

Sajam [Senjata Tajam]


22

11,58%

10

2,82%

Pengeroyokan


19

10%

-

-

Kejahatan Susila


3

1,58%

-

-

Perjudian


3

1,58%

12

3,38%

Upal [Uang Palsu]


2

1,05%

-

-

Penganiayaan


2

1,05%

-

-

Penipuan


1

0,53%

3

0,85%

Lain-Lain


1

0,53%

50

14,08%

Jumlah


190

355
    Sumber : Herlina A., Anak yang Berkonflik dengan Hukum (Materi Presentasi), 2006

Anak yang terkena kasus Napza menempati urutan kedua pada data Lapas Anak Tangerang dan Pondok Bambu (tidak dijelaskan terlibat sebagai pengguna atau pembuat/pengedar). Hasil asesmen cepat ILO/IPEC, 2004, memperlihatkan bahwa dari 92 responden (usia 14 – 19 tahun) yang diwawancara, sebanyak 50% pernah terlibat dalam produksi Napza (Children Involved In The Production, Sale and DistributionOf Illicit Drugs In Jakarta : A Rapid Assessment. 2004).


j.   Anak yang Membutuhkan Orang Tua Pengganti

Anak Balita Terlantar (ABT) dan Anak Terlantar (AT) merupakan bagian dari kelompok Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial adalah seseorang, keluarga atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan atau gangguan sehingga tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya, tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya secara memadai dan wajar. Hambatan, kesulitan atau gangguan tersebut dapat berupa kemiskinan, keterlatantaran, kecacatan, ketunasosialan, tindak kekerasan dan bencana alam dan sosial (Panduan Pengumpulan dan Pengolahan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial/PMKS serta Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial/PSKS, Pusat Data Informasi Kesejahteraan Sosial, Depsos RI, 2002).

Secara khusus, yang dimaksud dengan anak balita terlantar (adalah anak yang berusia 0 – 4 tahun) dan anak terlantar (adalah anak yang berusia 5 – 21 tahun), yang karena sebab tertentu (misalnya miskin/tidak mampu, salah seorang dari orangtuanya/wali pengampu sakit, salah seorang/kedua orangtuanya/wali pengampu atau pengasuh meninggal, keluarga tidak harmonis, tidak ada pengampu/pengasuh), sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun sosial.

§ Pengangkatan/Adopsi Anak

Berdasarkan pelaporan kepada Departemen Sosial jumlah anak yang diadopsi antar warga negara Indonesia tahun 2006 – 2008, yaitu 23 anak. Selain rentang usia 0 – 4 tahun, terdapat 7 anak dalam rentang usia 5 – 13 tahun yang juga diadopsi. Sebagai catatan, data di atas tidak mencerminkan data nasional karena prosedur kategori pengangkatan/adopsi antar WNI (domestic adoption) melalui pengadilan negeri dan dinas sosial masing-masing propinsi (izin dari kepala instansi sosial sebagai pengganti izin Menteri).
Data inter country adoption tahun 2004 – 2007 menunjukkan 45 anak yang diadopsi (Direktorat PSA, Depsos RI, 2008). Sebagai catatan, data tidak mencantumkan jenis kelamin dan usia anak yang diadopsi, beberapa tidak mencantumkan nama anak.

§ Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA)

Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) atau Panti Asuhan atau Panti merupakan istilah yang mengacu pada semua fasilitas panti untuk anak terlantar atau anak penyandang cacat, baik milik pemerintah maupun swasta, baik yang dikelola di rumah pribadi untuk kelompok kecil anak maupun di dalam bangunan asrama untuk 200 anak. Panti asuhan untuk Anak Terlantar terutama mengasuh anak yatim piatu, anak yatim/piatu dan anak yang orangtuanya tidak mampu mengasuh mereka.

Jumlah panti asuhan di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 7.000 buah, yang mengasuh sekitar setengah juta anak. Pemerintah Indonesia mengelola kurang dari 1% panti asuhan dan lebih dari 99% dikelola oleh masyarakat, terutama organisasi keagamaan. Dari hasil studi, dalam panti asuhan, presentase anak yatim piatu sebanyak 6% dan anak yatim/piatu/memiliki kedua orangtua sebanyak 90%. Kebanyakan anak-anak yang masih memilki satu atau kedua orangtua bukan ditelantarkan, tetapi ditempatkan di panti asuhan karena kesulitan ekonomi, dengan tujuan mendapatkan pendidikan (Seseorang yang Berguna : Kualitas Pengasuhan di Panti Sosial Asuhan Anak di Indonesia, Departemen Sosial, Save the Children & Unicef, 2008)

Selama tahun 2007, program yang dijalankan mencakup 33 propinsi dan 395 kabupaten/kota. Data dalam tabel tersebut di atas memperlihatkan data PSAA yang memperoleh bantuan subsidi BBM sejumlah 4.035 panti. Subsidi diberikan bagi 128.016 anak yang diasuh oleh panti. Data yang dikumpulkan melalui subsidi BBM merupakan sumber informasi terbatas mengenai panti asuhan di Indonesia, mengingat tidak semua panti asuhan memperoleh subsidi dan tidak terdapat terdapat data akurat mengenai jumlah, penyelenggaraan dan pengawasan panti asuhan di Indonesia (Seseorang yang Berguna : Kualitas Pengasuhan di Panti Sosial Asuhan Anak di Indonesia, Departemen Sosial, Save the Children & Unicef, 2008).


k.  Anak dari Kelompok Minoritas

Persebaran Komunitas Adat Terpencil tahun 2005 mengalami berbagai masalah yang timbul di lokasi KAT diantaranya “Kasus Salulemo” di Propinsi Sulawesi Selatan, dimana kasus tanah tersebut telah menjadi isu dan terangkat ke permukaan.  Pemberdayaan KAT yang dilaksanakan sekitar tahun 1980-an dirasakan tidak adanya kejelasan status tanah pada lokasi KAT tersebut.

Seperti juga kasus tanah di permukaan KAT lokasi Gunung Benoa, Kabupaten Pontianak Propinsi Kalimantan Barat, lokasi pemukiman mereka saat ini berada pada posisi strategis.  Pada lokasi tersebut akan dibangun “Jalan Trans Kalimantan” warga KAT tergiur untuk menjual lahan-lahan mereka kepada para cukong guna pembangunan proyek jalan tersebut.

Kasus-kasus lain yang ditemukan juga terjadi di Desa Tawaenalo Kecamatan Raterate Kabupaten Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggaran. Warga KAT menjual aset berupa lahan yang mereka miliki dari program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil tahun 1984.
Kasus-kasus tersebut di atas pada umumnya ditengarai adanya indikasi yang menunjukkan sikap warga KAT yang kurang memahami tenang kepemilikan meraka sebagai sumber kehidupan, dan tidak adanya kemauan mereka dalam mengamankan Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil yang sudah bergulir dengan baik di lokasi tersebut.


l.    Anak Penyandang Cacat

Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Departemen Sosial RI menunjukkan bahwa pada tahun 2006 jumlah total anak penyandang cacat di seluruh Indonesia adalah 295.763 anak. Propinsi dengan jumlah anak penyandang cacat terbanyak berturut-turut adalah Jawa Tengah 53.634 anak, Jawa Barat 36.494 anak, dan Jawa Timur 31.022 anak. Sedangkan propinsi dengan jumlah anak penyandang cacat paling sedikit berturut-turut adalah Bangka Belitung 935 anak, Papua Barat 986 anak, dan Gorontalo 1.238 anak.

Berdasarkan SUPAS 2005, jumlah anak bisa diperkirakan mencapai 35% atau sekitar 80 juta dari total penduduk seluruhnya. Jika memakai angka ini, maka tidak sampai 1 persen anak yang menyandang cacat. Data lain berdasarkan Susenas tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah penyandang cacat usia sekolah (5-18 tahun) berjumlah 317.016 anak.

WHO memperkirakan bahwa di suatu negara setidaknya 15,9% penduduknya adalah penyandang cacat. Memakai perkiraan ini, maka pada tahun 2005 ada sekitar 33 juta penduduk Indonesia penyandang cacat, dan 10 juta diantaranya adalah anak-anak.


        Dasar hukum pembangunan KPA:
Nasional:
  UUD Tahun 1945 pasal 28B ayat 2
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi

UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Bantuan dan pelayanan untuk kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak tanpa diskriminasi

UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Batas umur anak yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya delapan tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum kawin

UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat

UU No. 22 tahun 1997 tentang narkotika
Mencegah pelibatan anak dibawah umur dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika

UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Kesehatan anak diselenggarakan untuk mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan anak mulai dari dalam kandungan sampai usia sekolah

UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang, mendapatkan identitas, pelayanan kesehatan dan pendidikan, berpartisipasi dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar

UU NO. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan terburuk dalam bentuk perbudakan dan sejenisnya  dan pekerjaan yang memanfaatkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno atau perjudian  

UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Setiap orang yang melihat, mendengar aatau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (suami, isteri, anak dak keluarga lain), wajib melakukan pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat dan mrmbantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.



UU No.12 Tahun 2005 tentang kewarganegaraan
Anak WNI diluar perkawinan yang syah, belum berusia 18 tahun dan belum kawin diakui secara syah oleh ayahnya yang WNA tetap diakui sebagai WNI

UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
setiap anak berhak atas sebuah nama sebagai identitas yang dituangkan dalam akte kelahiran dan kewarganegaraan

UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Korban
Anak didalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah dan temannya

UU No. 21 tahun 2007 tentang PTPPO
Setiap orang yang melakukan tindak pidana perdagangan orang dan korbannya adalah anak, maka ancaman pidananya ditambah sepertiga.

RPJMN 2004-2009 (Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005)
Peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak merupakan salah satu dari agenda menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis.

RKP 2006 dan RKP 2007
Pengarusutamaan anak merupakan salah satu program pembangunan, dan harus dilakukan untuk memastikan kebijakan/program/kegiatan pembangunan peduli/ramah anak.


Internasional:
-   Convention on the Rights of the Child (CRC) / Konvensi Hak-hak Anak
-   Deklarasi A World Fit for Chidren (WFC)
-   Millenium Development Goals (MDGs)


        Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015

Pada Sidang Umum PBB ke-27 Khusus mengenai anak pada tahun 2002 negara-negara peserta telah menyatakan komitmennya dalam deklarasi “Dunia Yang Layak Bagi Anak” (Wold Fit for Children – WFC). Aspek-aspek yang menjadi fokus dalam deklarasi tersebut adalah promosi hidup sehat, penyediaan pendidikan yang berkualitas, perlindungan terhadap perlakuan salah, ekploitasi dan kekerasan, serta penanggulangan HIV/AIDS.

Bentuk komitmen pemerintah Indonesia terhadap deklarasi tersebut adalah menyusun dokumen Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015. PNBAI 2015 pada dasarnya merupakan perwujudan dari UUD 1945, khususnya pasal 28B dan 28C. Adapun penetapan sasaran yang hendak dicapai dalam kurun waktu tersebut diserasikan dengan komitmen internasional yang termuat dalam Millenium Development Goals (MDGs). PNBAI 2015 juga merupakan bentuk penetapan dari Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang telah diratifikasi melalui Keppres No. 36 tahun 1990.

PNBAI 2015 disusun berdasarkan analisis kondisi anak Indonesia yang dalam penyusunannya dikoordinasikan oleh Bappenas dan dilaksanakan  bersama-sama lintas departemen/lembaga pemerintah terkait, dengan masukan dari berbagai organisasi dan lembaga swadaya masyarakat peduli anak, serta perwakilan anak. PNBAI 2015 sebagai dokumen yang menjadi acuan semua pihak yang berkepentingan dan terlibat dalam upaya memperjuangkan kesejahteran dan perlindungan anak.


PNBAI 2015 terdiri dari Visi dan Misi sebagai berikut:
Visi:
Anak Indonesia yang sehat, tumbuh dan berkembang, cerdas ceria, berakhlak mulia, terlindungi, dan aktif berpartisipasi.

Visi ini mengandung harapan bahwa anak-anak Indonesia yang dicita-citakan tidak hanya pandai dan berakhlak, tetapi juga  berani untuk mengeluarkan pendapat, sehat dalam tumbuh kembangnya, serta menikmati masa kanak-kanaknya dengan ceria karena hak-haknya dilindungi. Meskipun demikian, cita-cita di atas harus ditempuh dalam perjalanan yang panjang. Untuk mencapai cita-cita ini, pemerintah mencanangkan misi sebagai berikut.

MISI dari PNBAI 2015 adalah sebagai berikut:

1.    Menyediakan pelayanan kesehatan yang komprehensif, merata dan berkualitas, pemenuhan gizi seimbang, pencegahan penyakit menular, termasuk HIV/AIDS, pengembangan lingkungan dan perilaku hidup sehat
2.    Menyediakan pelayanan pendidikan yang merata, bermutu, dan demokratis bagi semua anak sejak usia dini.
3.    Membangun sistem pelayanan sosial dasar dan hukum yang responsif terhadap kebutuhan anak agar dapat melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.
4.    Membangun lingkungan yang kondusif untuk menghargai pendapat anak dan memberi kesempatan untuk berpartisipasi sesuai dengan usia dan tahap perkembangan anak.

Sasaran PNBAI 2015 meliputi:

Di bidang Pendidikan Anak Usia Dini adalah:
Meningkatkan jumlah anak yang mendapatkan layanan PAUD di tahun 2001 dari 28% (7,34 juta jiwa) menjadi 85% (28,97 juta jiwa) di tahun 2015
Meningkatkan jumlah lembaga layanan dari 303.736 (2001) menjadi 12,7 juta (2015)
catatan :
-   Asumsi jumlah kenaikan penduduk usia 0–6 tahun rata-rata 2% per tahun
-   Asumsi kenaikan rata-rata jumlah lembaga adalah 3% per tahun

Di bidang Kesehatan adalah:
§ menurunkan AKB dan AKBA menjadi 1/3 dari kondisi 2001
§ menurunkan angka kematian ibu menjadi 1/3 dari kondisi 2001
§ menurunkan angka kekurangan gizi, terutama bblr dan usia di bawah 2 tahun (variasi 30-50%)
§ meningkatkan keterjangkauan air bersih dan jamban saniter dalam keluarga sebesar 30%
§ menyelenggarakan program nasional perkembangan anak usia dini
§ penyelenggaraan program kesehatan nasional remaja
§ penyelenggaraan program nasional kesehatan reproduksi
Di bidang Penanggulangan HIV/AIDS adalah:
Sampai dengan 90% populasi memperoleh informasi tentang HIV/AIDS dan pencegahannya.
100% darah donor bebas kontaminasi HIV
80% Ibu hamil dalam perawatan ante-natal memperoleh informasi, konseling HIV, dan perawatan untuk mencegah bayi terinfeksi
Setiap ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) memperoleh pengobatan, perawatan, dan dukungan yang dibutuhkan

Di bidang Perlindungan adalah:
Meningkatkan upaya upaya perlindungan anak Indonesia dari berbagai bentuk perlakuan atau tindakan salah melalui berbagai bidang kegiatan yang meliputi:
         a. pencegahan
         b. perlindungan hukum
         c. pemulihan anak & reintegrasi sosial (keluarga)
d. peningkatan koordinasi dan kerjasama baik tingkat lokal, nasional,   
    regional maupun internasional
e. peningkatan partisipasi anak