e.
Kepemilikan Akta Kelahiran
Jumlah penduduk usia 0-4 tahun yang
memiliki akta kelahiran di 30 provinsi di Indonesia . Secara umum, dapat
dilihat bahwa tingkat kepemilikan akta kelahiran bervariasi antara 18,90
persen sampai dengan 79,45 persen, dengan rata-rata sebesar 42,82 persen.
Provinsi yang tingkat kepemilikan akta kelahirannya tertinggi adalah DI
Yogyakarta sebesar 79,45 persen dan Provinsi yang terendah adalah Sumatera Utara
sebesar 18,90 persen (Supas 2005).
Kepemilikan akta
kelahiran dapat dilihat dalam tebel berikut:
Provinsi
|
Penduduk 0 - 4 Tahun
|
||
Jumlah
|
Memiliki Akta Kelahiran
|
||
Banyaknya
|
Persentase
|
||
Sumatera Utara
|
543.768
|
135.028
|
24,83
|
Sumatera Barat
|
134.858
|
60.695
|
45,01
|
Riau
|
193.580
|
86.435
|
44,65
|
Jambi
|
75.847
|
57.979
|
76,44
|
Sumatera Selatan
|
194.065
|
101.592
|
52,35
|
Bengkulu
|
39.033
|
25.504
|
65,34
|
Lampung
|
147.400
|
76.502
|
51,90
|
Kep. Bangka
|
37.398
|
28.873
|
77,20
|
Kepulauan Riau
|
111.823
|
73.461
|
65,69
|
DKI
|
714.565
|
595.908
|
83,39
|
Jawa Barat
|
1.760.374
|
999.113
|
56,76
|
Jawa Tengah
|
995.145
|
623.053
|
62,61
|
DI Yogyakarta
|
122.654
|
99.563
|
81,17
|
Jawa Timur
|
1.170.912
|
820.122
|
70,04
|
Banten
|
439.072
|
274.338
|
62,48
|
|
158.819
|
84.285
|
53,07
|
Nusa Tenggara Barat
|
156.525
|
47.414
|
30,29
|
Nusa Tenggara Timur
|
3.183
|
29.117
|
39,79
|
|
108.688
|
62.884
|
57,86
|
|
55.044
|
28.008
|
50,88
|
|
129.535
|
74.280
|
57,34
|
|
169.079
|
110.864
|
65,57
|
|
72.452
|
39.225
|
54,14
|
|
48.594
|
24.369
|
50,15
|
|
258.485
|
120.497
|
46,62
|
|
45.213
|
19.435
|
42,99
|
Gorontalo
|
25.391
|
8.698
|
34,26
|
Maluku
|
36.780
|
20.010
|
54,40
|
Maluku Utara
|
23.518
|
12.611
|
53,62
|
Papua
|
75.866
|
45.169
|
59,54
|
Jumlah
|
8.117.666
|
4.785.032
|
58,95
|
Sumber: SUPAS BPS: 2005)
f. Anak Korban Kekerasan [Fisik dan
Mental] dan Perlakuan Salah [child abuse]
Secara
nasional selama tahun 2006 telah terjadi sekitar 2,81 juta tindak kekerasan dan
sekitar 2,29 juta anak pernah menjadi korbannya.
Jumlah tersebut jika
dibandingkan dengan jumlah anak menunjukkan besarnya angka korban kekerasan
terhadap anak pada tahun 2006 mencapai 3%, yang berarti setiap 1000 anak
terdapat sekitar 30 orang pernah menjadi korban tindak kekerasan.
Angka korban kekerasan korban
anak di perdesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan yakni 3,2 berbanding 2,8%.
Sedangkan angka korban kekerasan pada anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan
perempuan yaitu 3,1 berbanding 2,9%.
g. Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan
Zat
Adikitif Lainnya [Napza]
Jumlah kasus
penyalahgunaan narkoba yang terlaporkan terus meningkat. Pada tahun 1999
berjumlah 1.833 kasus, tahun 2000 berjumlah 3.478 kasus dan pada tahun 2001
berjumlah 3.617 kasus [sumber data Badan Narkotika Nasional], sedangkan menurut
data Pusdatin Kesos Tahun 2002 jumlah korban penyalahgunaan Narkoba tercatat
sebanyak 23.660 orang. Perkiraan usia pengguna Napza terbesar 15 – 24 tahun (BNN, 2004).
Pengguna Napza pada tahun 2005 diperkirakan sekitar 2,9 – 3,6 juta orang (BNN, 2005).
Fakta yang paling
memprihatinkan adalah semakin banyaknya remaja yang memulai perkenalannya
dengan narkoba pada usia yang sangat muda, yaitu : menghisap rokok pada usia 6
tahun dan menggunakan obat obat-obatan / heroin / narkoba jenis lain pada usia
10 tahun. Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian yang serius adalah
semakin meningkatnya populasi penderita HIV/AIDS di kalangan pecandu, narkoba
dengan cara suntikan (IDU).
Menurut laporan
saat ini ada 50 % - 78 % pengguna narkoba jarum suntikan adalah pengidap
HIV (Djauhari dan Djoerban, 2002 dalam
website Ditjen Pelayanan dan Rehab Sosial, Depsos RI, 2008).
Estimasi
Departemen Kesehatan pada tahun 2006 menyebutkan terdapat antara 191.000 sampai
248.000 penasun di Indonesia. Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjuk kepada
angka 508.000 pada tahun yang sama. Penasun masih terkonsentrasi di daerah
perkotaan di Jawa dan kota-kota provinsi di luar Jawa. (Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 2007 – 2010, 2007).
Karakteristik
penyalahguna Napza di kalangan siswa dan mahasiswa menunjukkan bahwa lebih dari separuh penyalahguna Napza berada
pada kelompok usia 15-19 tahun (58%), terutama pada mereka yang duduk di bangku
SLTA (94%). Pada kelompok usia kurang dari 15 tahun penyalahguna lebih banyak
berada di kabupaten, sedangkan pada kelompok usia diatas 20 tahun lebih banyak
ada di kota.
Diperkirakan angka penyalahguna Napza suntik ada sekitar 2 dari 1000
pelajar/mahasiswa yang disurvei atau sekitar 2,4% dari yang pernah
menyalahgunakan Napza. Irjabar (5 per 1000) dan Maluku (4 per 1000) adalah
propinsi yang paling banyak ditemukan angka penyalahguna Napza cara suntik. Di
tingkat SLTP ada 2 propinsi yang cukup tinggi yaitu NTT dan Irjabar sekitar 4
per 1000 responden. Di tingkat SLTA, di Papua ada sekitar 8 dari 1000 responden
yang pernah menyuntik. Selanjutnya DKI Yogyakarta (16 per 1000), DKI Jakarta
(15 per 1000), dan Jawa Tengah (14 per 1000) adalah 3 propinsi tertinggi angka
menyuntiknya di PT (Survey Nasional Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap
Narkoba pada Kelompok Pelajar dan Mahasiswa di Indonesia, BNN, 2006).
h. Anak
Jalanan
Berdasarkan
data PMKS 2007, Departemen Sosial RI menunjukkan jumlah anak jalanan di seluruh
Indonesia pada tahun 2007 berjumlah 104.497 anak. Jumlah anak jalanan terbanyak
berturut-turut adalah Jawa Timur 13.136 anak, Nusa Tenggara Barat 12.307 anak,
dan Nusa Tenggara Timur 11.889 anak. Sedangkan 3 propinsi dengan jumlah anak
jalanan paling sedikit berturut-turut adalah Kalimantan Tengah 10 anak,
Gorontalo 66 anak, dan Kepulauan Riau 186 anak.
Pada tahun 2006, data
PMKS menunjukkan di seluruh Indonesia ada 144.889 anak jalanan. Dibandingkan
dengan angka tahun 2007 (104.497 anak) berarti ada penurunan jumlah yang cukup
signifikan sebesar 30%. Penurunan terbesar terutama terjadi pada propinsi
Maluku, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, dan Maluku Utara. Adapun penyediaan rumah singgah pada
tahun 2007 hanya menampung kira-kira 12% dari jumlah anak jalanan
seluruhnya.
Jumlah Anak Jalanan seluruh Indonesia Tahun 2007
No
|
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
|
ANAK JALANAN
[jiwa]
|
1
|
Nanggroe Aceh Darussalam
|
608
|
2
|
Sumatera Utara
|
4.525
|
3
|
Sumatera Barat
|
6.330
|
4
|
Riau
|
914
|
5
|
Jambi
|
1.756
|
6
|
Sumatera Selatan
|
1.764
|
7
|
Bengkulu
|
794
|
8
|
Lampung
|
1.096
|
9
|
Bangka
|
191
|
10
|
Kepulauan Riau
|
186
|
11
|
DKI
|
4.478
|
12
|
Jawa Barat
|
6.428
|
13
|
Jawa Tengah
|
10.025
|
14
|
DI Yogyakarta
|
1.305
|
15
|
Jawa Timur
|
13.136
|
16
|
Banten
|
2.492
|
17
|
|
680
|
18
|
Nusa Tenggara Barat
|
12.307
|
19
|
Nusa Tenggara Timur
|
11.889
|
20
|
|
3.240
|
21
|
|
10
|
22
|
|
3.671
|
23
|
|
1.330
|
24
|
|
451
|
25
|
|
2.652
|
26
|
|
3.931
|
27
|
|
2.254
|
28
|
Gorontalo
|
66
|
29
|
|
249
|
30
|
Maluku
|
2.728
|
31
|
Maluku Utara
|
2.430
|
32
|
Papua Barat
|
227
|
33
|
Papua
|
354
|
TOTAL
|
104.497
|
[Data PMKS 2007, Departemen Sosial RI]
i. Anak
yang Berhadapan dengan Hukum
Anak yang
berhadapan dengan hukum dapat juga berupa akasus Napza (Narkotika, Psikotropika
& Bahan Berbahaya) di Indonesia yang tercatat pada 2001 – 2007 mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Data tahun 2007 menunjukkan jumlah 22.630 kasus di
wilayah propinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara, Jawa Barat dan Riau (Dit IV Narkoba & KT Bareskrim Polri,
2008). Berdasarkan kelompok usia pelaku kasus tindak pidana Napza, maka 2
kelompok usia termuda yang terlibat adalah < 16 tahun sebesar 110 kasus dan
16 – 19 tahun sebesar 2.617 kasus.
Tindak Pidana yang
Dilakukan Anak
(Data Lapas Tangerang dan Pondok Bambu)
Kategori
Tindak Pidana
|
2002
[Tangerang]
|
2006
[Pondok Bambu]
|
||
Pencurian
|
85
|
44,74%
|
111
|
31,27%
|
Napza
|
55
|
27,37%
|
148
|
41,69%
|
Sajam [Senjata Tajam]
|
22
|
11,58%
|
10
|
2,82%
|
Pengeroyokan
|
19
|
10%
|
-
|
-
|
Kejahatan Susila
|
3
|
1,58%
|
-
|
-
|
Perjudian
|
3
|
1,58%
|
12
|
3,38%
|
Upal [Uang Palsu]
|
2
|
1,05%
|
-
|
-
|
Penganiayaan
|
2
|
1,05%
|
-
|
-
|
Penipuan
|
1
|
0,53%
|
3
|
0,85%
|
Lain-Lain
|
1
|
0,53%
|
50
|
14,08%
|
Jumlah
|
190
|
355
|
Sumber :
Herlina A., Anak yang Berkonflik dengan Hukum (Materi Presentasi), 2006
Anak yang terkena
kasus Napza menempati urutan kedua pada data Lapas Anak Tangerang dan Pondok
Bambu (tidak dijelaskan terlibat sebagai pengguna atau pembuat/pengedar). Hasil
asesmen cepat ILO/IPEC, 2004, memperlihatkan bahwa dari 92 responden (usia 14 –
19 tahun) yang diwawancara, sebanyak 50% pernah terlibat dalam produksi Napza (Children
Involved In The Production, Sale and DistributionOf Illicit Drugs In Jakarta :
A Rapid Assessment. 2004).
j. Anak yang Membutuhkan Orang Tua Pengganti
Anak Balita
Terlantar (ABT) dan Anak Terlantar (AT) merupakan bagian dari kelompok
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial adalah seseorang, keluarga atau kelompok
masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan atau gangguan sehingga tidak dapat
melaksanakan fungsi sosialnya, tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya secara
memadai dan wajar. Hambatan, kesulitan atau gangguan tersebut dapat berupa
kemiskinan, keterlatantaran, kecacatan, ketunasosialan, tindak kekerasan dan
bencana alam dan sosial (Panduan
Pengumpulan dan Pengolahan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial/PMKS
serta Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial/PSKS, Pusat Data Informasi
Kesejahteraan Sosial, Depsos RI, 2002).
Secara khusus,
yang dimaksud dengan anak balita terlantar (adalah anak yang berusia 0 – 4
tahun) dan anak terlantar (adalah anak yang berusia 5 – 21 tahun), yang karena
sebab tertentu (misalnya miskin/tidak mampu, salah seorang dari
orangtuanya/wali pengampu sakit, salah seorang/kedua orangtuanya/wali pengampu
atau pengasuh meninggal, keluarga tidak harmonis, tidak ada pengampu/pengasuh),
sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara
jasmani, rohani maupun sosial.
§ Pengangkatan/Adopsi Anak
Berdasarkan pelaporan kepada Departemen Sosial
jumlah anak yang diadopsi antar warga negara Indonesia tahun 2006 – 2008, yaitu
23 anak. Selain rentang usia 0 – 4 tahun, terdapat 7
anak dalam rentang usia 5 – 13 tahun yang juga diadopsi. Sebagai catatan, data
di atas tidak mencerminkan data nasional karena prosedur kategori
pengangkatan/adopsi antar WNI (domestic
adoption) melalui pengadilan negeri dan dinas sosial masing-masing propinsi
(izin dari kepala instansi sosial sebagai pengganti izin Menteri).
Data inter country
adoption tahun 2004 – 2007 menunjukkan 45 anak yang diadopsi (Direktorat
PSA, Depsos RI, 2008). Sebagai catatan, data tidak mencantumkan jenis kelamin
dan usia anak yang diadopsi, beberapa tidak mencantumkan nama anak.
§ Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA)
Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) atau Panti Asuhan atau
Panti merupakan istilah yang mengacu pada semua fasilitas panti untuk anak
terlantar atau anak penyandang cacat, baik milik pemerintah maupun swasta, baik
yang dikelola di rumah pribadi untuk kelompok kecil anak maupun di dalam
bangunan asrama untuk 200 anak. Panti asuhan untuk Anak Terlantar terutama
mengasuh anak yatim piatu, anak yatim/piatu dan anak yang orangtuanya tidak
mampu mengasuh mereka.
Jumlah
panti asuhan di seluruh Indonesia
diperkirakan sekitar 7.000 buah, yang mengasuh sekitar setengah juta anak.
Pemerintah Indonesia
mengelola kurang dari 1% panti asuhan dan lebih dari 99% dikelola oleh
masyarakat, terutama organisasi keagamaan. Dari hasil studi, dalam panti
asuhan, presentase anak yatim piatu sebanyak 6% dan anak yatim/piatu/memiliki
kedua orangtua sebanyak 90%. Kebanyakan anak-anak yang masih memilki satu atau
kedua orangtua bukan ditelantarkan, tetapi ditempatkan di panti asuhan karena
kesulitan ekonomi, dengan tujuan mendapatkan pendidikan (Seseorang yang Berguna : Kualitas Pengasuhan di Panti Sosial Asuhan
Anak di Indonesia, Departemen Sosial, Save the Children & Unicef, 2008)
Selama tahun 2007, program yang
dijalankan mencakup 33 propinsi dan 395 kabupaten/kota. Data
dalam tabel tersebut di atas memperlihatkan data PSAA yang memperoleh bantuan
subsidi BBM sejumlah 4.035 panti. Subsidi diberikan bagi 128.016 anak yang
diasuh oleh panti. Data yang dikumpulkan melalui subsidi BBM merupakan sumber
informasi terbatas mengenai panti asuhan di Indonesia, mengingat tidak semua
panti asuhan memperoleh subsidi dan tidak terdapat terdapat data akurat
mengenai jumlah, penyelenggaraan dan pengawasan panti asuhan di Indonesia (Seseorang yang Berguna : Kualitas Pengasuhan
di Panti Sosial Asuhan Anak di Indonesia, Departemen Sosial, Save the Children
& Unicef, 2008).
k. Anak dari Kelompok Minoritas
Persebaran
Komunitas Adat Terpencil tahun 2005 mengalami berbagai masalah yang timbul di
lokasi KAT diantaranya “Kasus Salulemo” di Propinsi Sulawesi Selatan,
dimana kasus tanah tersebut telah menjadi isu dan terangkat ke permukaan. Pemberdayaan KAT yang dilaksanakan sekitar
tahun 1980-an dirasakan tidak adanya
kejelasan status tanah pada lokasi KAT tersebut.
Seperti juga kasus tanah di permukaan
KAT lokasi Gunung Benoa, Kabupaten Pontianak Propinsi Kalimantan Barat, lokasi
pemukiman mereka saat ini berada pada posisi strategis. Pada lokasi tersebut akan dibangun “Jalan
Trans Kalimantan” warga KAT tergiur untuk menjual lahan-lahan mereka kepada
para cukong guna pembangunan proyek jalan tersebut.
Kasus-kasus lain yang ditemukan juga
terjadi di Desa Tawaenalo Kecamatan Raterate Kabupaten Kolaka Propinsi Sulawesi
Tenggaran. Warga KAT menjual aset berupa lahan yang mereka miliki dari program
Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil tahun 1984.
Kasus-kasus tersebut di atas pada
umumnya ditengarai adanya indikasi yang menunjukkan sikap warga KAT yang kurang
memahami tenang kepemilikan meraka sebagai sumber kehidupan, dan tidak adanya
kemauan mereka dalam mengamankan Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil
yang sudah bergulir dengan baik di lokasi tersebut.
l. Anak Penyandang
Cacat
Data
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Departemen Sosial RI menunjukkan
bahwa pada tahun 2006 jumlah total anak penyandang cacat di seluruh Indonesia
adalah 295.763 anak. Propinsi dengan jumlah anak penyandang
cacat terbanyak berturut-turut adalah Jawa Tengah 53.634 anak, Jawa Barat
36.494 anak, dan Jawa Timur 31.022 anak. Sedangkan propinsi dengan jumlah anak penyandang
cacat paling sedikit berturut-turut adalah Bangka Belitung 935 anak, Papua
Barat 986 anak, dan Gorontalo 1.238 anak.
Berdasarkan SUPAS 2005, jumlah anak
bisa diperkirakan mencapai 35% atau sekitar 80 juta dari total penduduk
seluruhnya. Jika memakai angka ini, maka tidak sampai 1 persen anak yang
menyandang cacat. Data lain berdasarkan Susenas tahun 2003 menunjukkan bahwa
jumlah penyandang cacat usia sekolah (5-18 tahun) berjumlah 317.016 anak.
WHO memperkirakan bahwa di suatu
negara setidaknya 15,9% penduduknya adalah penyandang cacat. Memakai perkiraan
ini, maka pada tahun 2005 ada sekitar 33 juta penduduk Indonesia penyandang
cacat, dan 10 juta diantaranya adalah anak-anak.
Dasar hukum pembangunan KPA:
Nasional:
UUD Tahun 1945 pasal 28B ayat 2
Setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
UU No. 4 tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak
Bantuan dan
pelayanan untuk kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak tanpa diskriminasi
UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Batas umur anak yang dapat diajukan ke sidang anak adalah
sekurang-kurangnya delapan tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum kawin
UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan
sosialnya terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan
masyarakat
UU No. 22 tahun 1997 tentang narkotika
Mencegah pelibatan anak dibawah umur dalam penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika
UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Kesehatan
anak diselenggarakan untuk mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan anak mulai
dari dalam kandungan sampai usia sekolah
UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
Hak untuk
hidup, tumbuh dan berkembang, mendapatkan identitas, pelayanan kesehatan dan
pendidikan, berpartisipasi dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
Setiap warga
negara yang berusia tujuh sampai dengan 15 tahun wajib mengikuti pendidikan
dasar
UU NO. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
Siapapun
dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan terburuk dalam
bentuk perbudakan dan sejenisnya dan
pekerjaan yang memanfaatkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan
porno atau perjudian
UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Setiap orang yang melihat, mendengar aatau mengetahui terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga (suami, isteri, anak dak keluarga lain), wajib
melakukan pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat dan mrmbantu proses
pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
UU No.12 Tahun 2005 tentang kewarganegaraan
Anak WNI diluar perkawinan yang syah, belum berusia 18 tahun dan belum
kawin diakui secara syah oleh ayahnya yang WNA tetap diakui sebagai WNI
UU No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan
setiap anak berhak atas sebuah nama sebagai identitas yang dituangkan
dalam akte kelahiran dan kewarganegaraan
UU No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi Korban
Anak didalam
dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh guru, pengelola sekolah dan temannya
UU No. 21 tahun 2007 tentang PTPPO
Setiap orang
yang melakukan tindak pidana perdagangan orang dan korbannya adalah anak, maka
ancaman pidananya ditambah sepertiga.
RPJMN 2004-2009 (Peraturan
Presiden No. 7 Tahun 2005)
Peningkatan
kesejahteraan dan perlindungan anak merupakan salah satu dari agenda
menciptakan Indonesia
yang adil dan demokratis.
RKP 2006 dan RKP 2007
Pengarusutamaan
anak merupakan salah satu program pembangunan, dan harus dilakukan untuk
memastikan kebijakan/program/kegiatan pembangunan peduli/ramah anak.
Internasional:
-
Convention on the Rights of the Child (CRC) / Konvensi
Hak-hak Anak
-
Deklarasi A World Fit for Chidren (WFC)
-
Millenium Development Goals (MDGs)
Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015
Pada Sidang Umum PBB ke-27 Khusus mengenai anak pada
tahun 2002 negara-negara peserta telah menyatakan komitmennya dalam deklarasi
“Dunia Yang Layak Bagi Anak” (Wold Fit
for Children – WFC). Aspek-aspek yang menjadi fokus dalam deklarasi
tersebut adalah promosi hidup sehat, penyediaan pendidikan yang berkualitas,
perlindungan terhadap perlakuan salah, ekploitasi dan kekerasan, serta
penanggulangan HIV/AIDS.
Bentuk komitmen pemerintah Indonesia terhadap deklarasi
tersebut adalah menyusun dokumen Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI)
2015. PNBAI 2015 pada dasarnya merupakan perwujudan dari UUD 1945, khususnya
pasal 28B dan 28C. Adapun penetapan sasaran yang hendak dicapai dalam kurun
waktu tersebut diserasikan dengan komitmen internasional yang termuat dalam Millenium Development Goals (MDGs).
PNBAI 2015 juga merupakan bentuk penetapan dari Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang
telah diratifikasi melalui Keppres No. 36 tahun 1990.
PNBAI 2015 disusun berdasarkan analisis kondisi anak
Indonesia yang dalam penyusunannya dikoordinasikan oleh Bappenas dan
dilaksanakan bersama-sama lintas
departemen/lembaga pemerintah terkait, dengan masukan dari berbagai organisasi
dan lembaga swadaya masyarakat peduli anak, serta perwakilan anak. PNBAI 2015
sebagai dokumen yang menjadi acuan semua pihak yang berkepentingan dan terlibat
dalam upaya memperjuangkan kesejahteran dan perlindungan anak.
PNBAI 2015 terdiri dari Visi dan Misi sebagai berikut:
Visi:
Anak Indonesia
yang sehat, tumbuh dan berkembang, cerdas ceria, berakhlak mulia, terlindungi,
dan aktif berpartisipasi.
Visi ini
mengandung harapan bahwa anak-anak Indonesia yang dicita-citakan tidak hanya
pandai dan berakhlak, tetapi juga berani
untuk mengeluarkan pendapat, sehat dalam tumbuh kembangnya, serta menikmati
masa kanak-kanaknya dengan ceria karena hak-haknya dilindungi. Meskipun
demikian, cita-cita di atas harus ditempuh dalam perjalanan yang panjang. Untuk
mencapai cita-cita ini, pemerintah mencanangkan misi sebagai berikut.
MISI dari PNBAI
2015 adalah sebagai berikut:
1.
Menyediakan pelayanan kesehatan yang komprehensif, merata
dan berkualitas, pemenuhan gizi seimbang, pencegahan penyakit menular, termasuk
HIV/AIDS, pengembangan lingkungan dan perilaku hidup sehat
2.
Menyediakan pelayanan pendidikan yang merata, bermutu,
dan demokratis bagi semua anak sejak usia dini.
3.
Membangun sistem pelayanan sosial dasar dan hukum yang
responsif terhadap kebutuhan anak agar dapat melindungi anak dari segala bentuk
kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.
4.
Membangun lingkungan yang kondusif untuk menghargai
pendapat anak dan memberi kesempatan untuk berpartisipasi sesuai dengan usia
dan tahap perkembangan anak.
Sasaran PNBAI
2015 meliputi:
Di bidang Pendidikan Anak Usia Dini adalah:
Meningkatkan jumlah anak yang
mendapatkan layanan PAUD di tahun 2001 dari 28% (7,34 juta jiwa) menjadi 85%
(28,97 juta jiwa) di tahun 2015
Meningkatkan
jumlah lembaga layanan dari 303.736 (2001) menjadi 12,7 juta (2015)
catatan :
-
Asumsi jumlah kenaikan penduduk
usia 0–6 tahun rata-rata 2% per tahun
-
Asumsi kenaikan rata-rata
jumlah lembaga adalah 3% per tahun
Di bidang Kesehatan adalah:
§ menurunkan AKB dan AKBA menjadi 1/3 dari kondisi
2001
§ menurunkan angka kematian ibu menjadi 1/3 dari
kondisi 2001
§ menurunkan angka kekurangan gizi, terutama bblr dan
usia di bawah 2 tahun (variasi 30-50%)
§ meningkatkan keterjangkauan air bersih dan jamban
saniter dalam keluarga sebesar 30%
§ menyelenggarakan
program nasional perkembangan anak usia dini
§ penyelenggaraan program kesehatan nasional remaja
§ penyelenggaraan program nasional kesehatan
reproduksi
Di bidang Penanggulangan HIV/AIDS adalah:
Sampai dengan 90% populasi
memperoleh informasi tentang HIV/AIDS dan pencegahannya.
100% darah
donor bebas kontaminasi HIV
80% Ibu
hamil dalam perawatan ante-natal memperoleh informasi, konseling HIV, dan
perawatan untuk mencegah bayi terinfeksi
Setiap ODHA
(Orang Dengan HIV/AIDS) memperoleh pengobatan, perawatan, dan dukungan yang
dibutuhkan
Di bidang
Perlindungan adalah:
Meningkatkan
upaya upaya perlindungan anak Indonesia
dari berbagai bentuk perlakuan atau tindakan salah melalui berbagai bidang
kegiatan yang meliputi:
a. pencegahan
b.
perlindungan hukum
c.
pemulihan anak & reintegrasi sosial (keluarga)
d. peningkatan koordinasi dan kerjasama baik tingkat lokal, nasional,
regional
maupun internasional
e. peningkatan partisipasi anak