KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
KESEJAHTERAAN DAN PERLINDUNGAN ANAK (KPA)


1.    Pendahuluan

Anak sebagai generasi penerus dan pengelola masa depan bangsa perlu dipersiapkan sejak dini melalui pemenuhan hak-haknya yakni hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Kebijakan pembangunan KPA pada dasarnya mengacu pada ketentuan perauran perundang-undangan yang berlaku yakni UUD 1945 pasal 28B dan 28C, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, PNBAI 2015, CRC, MDGs, dan WFFC serta peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan anak.

Sebagaimana diamanatkan dalam UU. No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa penjaminan dan pemenuhan hak-hak anak menjadi tanggung jawab bersama orang tua, keluarga, masyarakat, dan Negara. Peraturan perundang undangan yang mengatur tentang anak jumlahnya adalah cukup banyak namun implementasinya belum sebagaimana yang kita harapkan. Selain itu dengan keluarnya PP No. 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah maka tatanan kelembagaan di daerah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal ini berdampak pula terhadap pelaksanaan program dan kegiatan di bidang pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak. Satu segi penangnan perlindungan anak harus ditangani secara holistik dan berkelanjutan. Oleh karena itu untuk mempermudah para pemangku kepentingan dalam penyusunan program dan kegiatan kesejahteraan dan perlindungan anak, maka  perlu adanya kebijakan yang jelas yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam rangka pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak di daerah.

2.    Kebijakan pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak

        Definisi anak.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (ps 1 UU No. 23/2002).

        Mengapa penting membangun dan melindungi anak.

§ Dasar pemikiran:
   Anak:  -  merupakan amanah dan karunia dari Allah SWT Tuhan
                 Yang Maha Esa yang harus dijaga dan dilindungi
    -  merupakan investasi bagi orang tua, bangsa dan negara.
    -  merupakan potensi kekayaan dan kesejahteraan
       bangsa di masa kini dan masa depan.
   Kualitas sumber daya manusia:
                   - indikator utama keberhasilan suatu bangsa dalam melakukan   
                     pembangunan, yang dimulai sejak usia dini.
  
   Bagaimana suatu bangsa memberikan prioritas kepada  
   pembangunan anak?
-   Menunjukkan apakah bangsa tersebut adalah bangsa yang visioner atau tidak.

   Upaya melakukan pembangunan anak:
- perlu dimulai dengan memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak. 

Perencanaan pembangunan yang peduli anak
-   Perlunya perubahan pendekatan pembangunan menjadi peduli anak
-   Upaya peningkatan kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak anak perlu diintegrasikan ke dalam seluruh program pembangunan yang terkait, utamanya pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan hukum.

§ Argumentasi pentingnya membangun anak
                 Argumentasi Hak Asasi Manusia
                 - Anak memiliki hak untuk hidup dan berkembang sampai kepada
                   potensi penuhnya

      Argumentasi Nilai Moral
      - Melalui anak-anak, nilai moral ditumbuh-kembangkan

      Argumentasi Ekonomi dan Sosial
-  Pembangunan anak merupakan investasi untuk meningkatkan
produktivitas bangsa dan masyarakat
- Kesiapan anak memasuki kehidupan mandiri
- Kesetaraan gender

        Tahap pertumbuhan anak:
-  Masa pralahir, yaitu sejak pembuahan sampai dengan full term.
-  Masa bayi, yaitu masa sejak lahir sampai dengan usia 1 tahun.
-  Masa batita, yaitu bayi berusia 1-3 tahun.
-  Masa prasekolah, yaitu anak yang berusia 4-5 tahun.
-  Masa sekolah dasar, yaitu anak yang berusia  6-12 tahun.
-  Masa remaja, yaitu masa pada saat anak berusia 12,5-18 tahun (laki-laki) dan 10,5-18 tahun (perempuan).

        Hak-hak anak:

Hak-hak dasar anak:
- Bertahan hidup: standar hidup yang layak; papan, sandang, makanan bergizi, pelayanan kesehatan, penghidupan yang layak, perlindungan dari segala bentuk kekerasan.

- Tumbuh kembang: segla hal yang memungkinkan anak tumbuh dan
      berkembang secara penuh sesuai dengan  
      potensinya à pendidikan, bermain dan   
      memanfaatkan  waktu luang, aktivitas sosial    
      budaya, akses terhadap informasi, dll.

-       Perlindungan:    semua yang diperlukan untuk melindungi mereka    
           dari kekerasan, perlakuan salah, dan
           penelantaran.
-       Partisipasi:         memungkinkan anak untuk memainkan peran aktif                      
                                dalam komunitasnya sesuai dengan kelebihan  
                                dan keterbatasan mereka terutama dalam                                 
                                berbagai hal yang menyangkut kepentingan                                 
                                mereka.

Hak-hak partisipasi:

Setiap anak berhak untuk menguatarakan pikiranya secara bebas. Untuk itu, maka anak harus ditanya pendapatnya dan pendapat tersebut harus dihormati serta diperhitungkan dalam semua keputusan yang menyangkut hidup anak tersebut, baik dalam keluarga, sekolah, lingkungan masyarakat bahkan sampai ke pengadilan sekalipun.

Hal yang sering terjadi dalam lingkungan keluarga, orangtua menganggap anak yang berani bicara dengan orangtua sebagai anak yang kurang ajar, apalagi bila anak berbeda pendapat dengan orang tua. Begitu juga dengan guru sekolah. Masih banyak guru yang tidak bisa menerima pendapat anak. Anak hanya mendengarkan saja selama belajar di kelas dan tidak ada diskusi atau upaya untuk mendorong anak berpikir dan mengeluarkan pendapatnya.

Anak masih dalam proses belajar sehingga orang dewasa perlu membimbing dan memperbaiki cara anak mengemukakan pendapatnya. Sesungguhnya banyak manfaat ketika orang dewasa berbicara dengan cara baik kepada anak, antara lain :
·         Melatih anak berpikir kritis, mampu memecahkan masalah, dan mandiri karena terbiasa melatih pikirannya;
·         Mendorong anak untuk terus giat belajar dan mengembangkan sikap percaya diri
·         Membina hubungan yang akrab dan menyenangkan diantara orangtua dan anak
·         Mengembangkan sikap sopan santun dan toleransi kepada orang lain karena anak yang dihargai pendapatnya juga akan belajar menghormati pendapat orang lain.

Termasuk didalam hak partisipasi anak adalah hak anak untuk mengungkapkan pandangan dan perasaannya terhadap situasi yang mempunyai dampak pada anak. Selain itu juga memungkinkan anak berperan aktif dalam berbagai hal yang menyangkut kepentingan mereka.
Pasal tentang hak partisipasi dalam KHA :
·         Pasal 12
·         Pasal 13
·         Pasal 15

Kebebasan dalam menyatakan pendapat dan berekspresi adalah hak partisipasi anak. Tetapi kebebasan tersebut senantiasa diikuti dengan tanggungjawab untuk menghargai hak orang lain. Artinya selama anak hidup dan berada dalam lingkungan bersama orang lain, maka selalu ada hak-hak orang lain yang harus dihargai. Kebebasan bertindak dan berekspresi tidak boleh dengan melanggar hak orang lain.


Pengertian partisipasi anak sebetulnya sangat luas dan memiliki tingkatan-tingkatan, seperti yang dikemukakan oleh Hart (1997) yang mempopulerkan konsep tangga partisipasi anak. Namun demikian, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dalam hal ini Deputi Perlindungan Anak, berdasarkan literatur yang ada telah mencoba menterjemahkan partisipasi anak sebagai keterlibatan anak dalam proses pengambilan keputusan dan menikmati perubahan yang berkenaan dengan hidup mereka baik secara langsung maupun tidak langsung yang dilaksanakan dengan persetujuan dan kemauan semua anak berdasarkan kesadaran dan pemahaman (buku Panduan Pelaksanaan Rencana Aksi Partisipasi Anak, Kementerian PP, tahun 2008).

Hak-hak anak secara umum meliputi hak untuk:
1.    bebas beragama
2.    bebas berkumpul secara damai
3.    bebas berserikat
4.    berekreasi
5.    bermain
6.    berpartisipasi dalam  kegiatan-kegiatan seni budaya
7.    hidup dengan orang tua
8.    kelangsungan hidup dan berkembang
9.    tetap berhubungan dengan orang tua, bila dipisahkan dengan salah satu orang tua
10. mendapatkan perlindungan dari penangkapan yang sewenang-wenang
11. mendapatkan identitas
12. mendapatkan informasi dari berbagai sumber
13. mendapatkan kewarganegaraan
14. mendapatkan nama
15. mendapatkan pelatihan keterampilan
16. mendapatkan pendidikan dasar secara cuma-cuma
17. mendapatkan standar hidup yang layak
18. mendapatkan perlindungan dari perampasan kebebasan
19. mendapatkan perlindungan dari perlakuan kejam, hukuman dan perlakuan tidak manusiawi
20. mendapatkan perlindungan dari siksaan
21. mendapatkan perlindungan hukum jika mengalami eksploitasi seksual dan kegunaan seksual
22. mendapatkan perlindungan khusus dalam  situasi yang genting
23. mendapatkan perlindungan khusus dari penculikan, penjualan, dan perdaganan anak
24. mendapatkan perlindungan khusus jika mengalami eksploitasi sebagai anggota kelompok minoritas atau kelompok adat
25. mendapatkan perlindungan khusus jika mengalami konflik hukum
26. mendapatkan perlindungan khusus jika mengalami eksploitasi dalam penyalahgunaan obat-obatan
27. mendapatkan perlindungan khusus sebagai pengungsi
28. mendapatkan perlindungan khusus, jika mengalami eksploitasi sebagai pekerja anak
29. mendapatkan perlindungan khusus dalam konflik bersenjata
30. mendapatkan perlindungan pribadi
31. mendapatkan perlindungan standar kesehatan yang paling tinggi


        Situasi anak di Indonesia:

Di bidang Kesehatan:

Berdasarkan komitmen MDGs Indonesia telah menetapkan target untuk menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi 23 per 1.000 KH dan Angka Kematian Balita (AKBA) menjadi 32 per 1.000 KH pada tahun 2015.
Sedangkan menurut data SDKI 2007 menunjukkan AKB di Indonesia telah berhasil turun menjadi 34 per 1.000 KH dan AKBA tercatat sebanyak 44 per 1.000 KH.

Gizi buruk juga menjadi salah satu permasalahan pada kesehatan anak. Menurut KOMNAS PA pada tahun 2006 terdapat sejumlah 744.698 anak penderita malnutrisi dengan rincian 55,9% menderita kurang gizi yakni 42,7% menderita gizi buruk dan 1,3% menderita busung lapar. Selain itu anak-anak juga banyak terserang berbagai penyakit seperti diare (5.645 anak), demam berdarah (5.127 anak), polio (324 anak), lumpuh layu (451 anak), campak (1.652 anak), dan flu burung 43 anak.

Hasil survei Garam Yudium 2005 mencatat bahwa prevalensi gizi kurang meningkat menjadi 28,0% terdiri dari balita gizi buruk 8.8% dan balita gizi kurang 19,2%. Selain kurang gizi juga banyak balita yang menderita anemia pada tahun 2005 terdapat 8,1 juta balita yang menderiat anemia (Depkes: 2007)

Menurut Komnas PA tahun 2006 terdapat 199 anak yang terserang HIV/AIDS dan sekitar 144 bayi tertular HIV/AIDS dari ibunya.

Berdasarkan data dari Dit IV/Narkoba, Bareskrim, Mabes POLRI, 2008 mencatat jumlah kasus narkoba di Indonesia dengan usia tersangka  < 16 tahun sebanyak 110 kasus, usia 16-19 tahun  sebanyak 2.627 kasus (2007).

Kematian balita dan bayi. pada tahun 1960, angka kematian bayi (AKB) masih sangat tinggi yaitu 216 per 1.000 kelahiran hidup. Dari tahun ke tahun, akb ini cenderung membaik sebagai dampak positif dari pelaksanaan berbagai program di sektor kesehatan. pada tahun 1992 akb tercatat 68 per 1.000 kelahiran hidup, kemudian menurun menjadi 57 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1994, turun lagi menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1997, dan pada tahun 2002-2003 penurunannya sudah mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup (sDki 2002-2003). Menurut proyeksi bps (bps-unDp-bappenas, 2005), pada tahun 2003 angka akb terus membaik hingga mencapai 33,9 per 1.000 kelahiran hidup. Dengan kecenderungan perkembangan pencapaian akb secara nasional seperti ini, pencapaian target mDgs pada tahun 2015 diperkirakan sudah akan tercapai pada tahun 2013.

Meskipun terus menurun, akb di indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara anggota asean, yaitu 4,6 kali lebih tinggi dari malaysia, 1,3 kali lebih tinggi dari Filipina, dan 1,8 kali lebih tinggi dari thailand. indonesia menduduki ranking ke-6 tertinggi setelah singapura (3 per 1.000), brunei Darussalam (8 per 1.000), malaysia (10 per 1.000), vietnam (18 per 1.000), dan thailand (20 per 1.000).

Perkembangan pencapaian AKB nasional tahun 1989-2005
Sumber: SDKI 1994,1997, 2002-2003. SKRT 1992, SUPAS 2005

Sementara itu, angka kematian balita (AKBA) juga menunjukkan perkembangan yang membaik. Jika pada tahun 1992 akba masih berada pada angka 97 per 1.000 kelahiran hidup, maka pada tahun 1994 angka ini telah turun menjadi 81 per 1.000 kelahiran hidup. pada tahun 2002-2003 akba sudah mencapai angka 46 dan tahun 2005 mencapai 40 per 1.000 per kelahiran hidup. artinya, sepanjang dekade 1990-an telah terjadi perbaikan rata-rata 7 persen per tahun, lebih tinggi dari dekade sebelumnya sebesar 4 persen per tahun. Pada tahun 2000 indonesia telah mencapai dan melampaui target yang ditetapkan dalam World summit for children (Wsc) yaitu 65 per 1.000 kelahiran hidup.

Penurunan akba dalam kurun waktu tahun 1992 (sDki) sampai 2005 (supas) lebih cepat dibandingkan penurunan akb dalam kurun waktu yang sama. penurunan akba mencapai 57 kematian per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan kecepatan penurunan akb hanya mencapai 35 kematian per 1.000 kelahiran hidup (lihat gambar 4.2). ini menunjukkan bahwa resiko kematian kelahiran bayi lahir lebih besar ketimbang resiko kematian hingga usia balita. pada tahun 2004, bps memperkirakan akb dapat mencapai 33,9 kematian per 1.000 kelahiran hidup, sementara akba dapat mencapai 40,9 kematian per 1.000 kelahiran hidup.

Perkembangan AKB dan AKBA nasional tahun 1989-2005
Sumber: SDKI 1994,1997, 2002-2003. SKRT 1992, SUPAS 2005

Angka kematian ibu (AKI) di indonesia telah mengalami penurunan menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2002-2003 bila dibandingkan dengan angka tahun 1994 yang mencapai 390 kematian per 100.000 kelahiran hidup. tetapi akibat komplikasi kehamilan atau persalinan yang belum sepenuhnya dapat ditangani, masih terdapat 20.000 ibu yang meninggal setiap tahunnya. Dengan kondisi ini, pencapaian target MDGs untuk aki akan sulit dicapai. BPS memproyeksikan bahwa pencapaian aki baru mencapai angka 163 kematian ibu melahirkan per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015, sedangkan target MDGs pada tahun 2015 tersebut adalah 102.

Pencapaian target MDGs akan dapat terwujud hanya jika dilakukan upaya yang lebih intensif untuk mempercepat laju penurunannya. resiko kematian ibu karena melahirkan di indonesia adalah 1 dari 65, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan resiko 1 dari 1.100 di thailand. selain itu disparitas kematian ibu antarwilayah (provinsi) di indonesia masih tinggi.

Pertolongan persalinan oleh petugas kesehatan terus mengalami peningkatan hingga mencapai 72,41 persen pada tahun 2006 (susenas). persalinan ini sangat mempengaruhi angka kematian ibu dan bayi sekaligus.

Penyebab langsung kematian ibu adalah perdarahan (30%), eklampsia (25%), partus lama (5%), komplikasi aborsi (8%), dan infeksi (12%). resiko kematian meningkat, bila ibu menderita anemia, kekurangan energi kronik dan penyakit menular. aborsi yang tidak aman bertanggung jawab pada 11 persen kematian ibu di indonesia. aborsi yang tidak aman ini biasanya terjadi karena kehamilan yang tidak inginkan (unwanted pregnancy).

Kontrasepsi modern memainkan peranan penting untuk menurunkan kehamilan yang tidak diinginkan. Pada tahun 1997, tingkat pemakaian kontrasepsi pada perempuan kawin usia 15-49 tahun hanya 57,4 persen, yang meningkat menjadi 60,3 persen pada tahun 2002-2003 (sDki 2002-2003). Ssementara itu unmet need pada tahun 2002-2003, masih sekitar 8,6 persen. pemakaian kontrasepsi pada wanita kawin usia 15-49 ini, cenderung tidak menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Jika merujuk pada data susenas (1992-2006) maka selama kurun waktu 13 tahun pemakaian kontrasepsi pada perempuan kawin usia 15-49 tahun hanya meningkat 7,4 persen.
Resiko kematian ibu semakin besar dengan adanya anemia, kekurangan energi kronik (kek), dan penyakit menular seperti malaria, tuberkulosis (tb), hepatitis, serta Hiv/aiDs. pada tahun 1995, misalnya, prevalensi anemia pada ibu hamil mencapai 51 persen dan pada ibu nifas 45 persen. sementara pada tahun 2002 terdapat 17,6 persen wanita usia subur yang menderita kek. tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan, faktor budaya, akses terhadap sarana kesehatan, transportasi, dan tidak meratanya distribusi tenaga terlatih --terutama bidan-- juga berkontribusi secara tidak langsung terhadap kematian ibu


Lebih lanjut, meskipun dalam uu nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menggariskan bahwa batas usia minimal menikah untuk perempuan adalah 16 tahun dan untuk laki-laki adalah 19 tahun, namun data susenas 2006 menunjukkan bahwa 12,56 persen wanita berumur 10 tahun ke atas menikah pertama kali pada usia 15 tahun ke bawah. sementara mereka yang menikah pertama kali pada usia 16 tahun (batas usia legal untuk menikah) hanya 9,84 persen. pernikahan usia dini seperti ini berimplikasi pada peningkatan jumlah ibu melahirkan di usia yang sangat muda dan pada akhirnya meningkatkan risiko kematian ibu. pernikahan dini ini juga menyebabkan perempuan terpaksa putus sekolah karena dia harus mengurus keluarga.


Di bidang Pendidikan:

Angka Partisipasi Sekolah (APS) tahun 1971-2007 untuk anak usia 7-18 tahun mengalami peningkatan terutama pada kelompok usia Sekolah Dasar (7-12 tahun).
APS untuk anak usia dini (0-6 tahun) secara kuantitatif terus bertambah sejak tahun 2004 – 2006. Namun yang paling mencolok adalah jenis satuan PAUD melalui jalur non formal mencapai 5.651.066 siswa, namun apabila dilihat dari jumlah penduduk usia 0-6 tahun yang mencapai 28.068.100 anak maka jumlah peserta didik PAUD belum mencapai 50% (Depdiknas: 2006).

Menurut BPS tahun 2006 jumlah anak putus ekolah tahun 2005 sebanyak 1.712.413 anak, sebagian besar (54,3%) disebabkan oleh ketidakmampuan ekonomi, bahkan ada 16 kasus anak yang bunuh diri karena menunggak biaya sekolah.
Pada kelompok umum 10-18 tahun terlihat persentase putus sekolah anak laki-laki sekitar 9,41% sementara perempuan hanya 5,6%.

Menurut National Human Develeopment Report 2004, rata-rata lama sekolah penduduk sekolah tahun 1999 hanya 6,7 tahun dan meningkat menjadi 7,1 tahun pada tahun 2002. Data ini meunjukkan walaupun pendidikan meningkat namun secara umum untuk tingkat SLTP kelas 1 dan pada tahun 2002 rata-rata lama sekolah lama laki-laki 7,6 tahun (SLTP Kelas 2) lebih tinggi dibandingkan perempuan yang hanya 6,5 tahun (SLTP Kelas 1). Pada tahun 2004 dan 2005 rata lama sekolah meningkat menjadi 7,2 tahun dan dan 7,3 tahun. Pada masa tersebut rata-rata lama sekolah laki-laki adalah 7,8 tahun lebih tinggi dari perempuan yang hanya 6,8 tahun (BPS, Inkesra: 2005).

Untuk melihat perkembangan situasi anak di sekolah dari tahun 2005-2007 dapat dilihat dalam tabel berikut:





Angka Partisipasi Murni (APM) sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (7-12 tahun) dan angka partisipasi murni (APM) sekolah menegah pertama/madrasah tsanawiyah (13-15 tahun) dari tahun 1992 sampai tahun 2006 secara nasional menunjukkan kecenderungan membaik. pada tahun 1992, APM SD/MI tercatat 88,7 persen dan pada tahun 2006 telah mencapai 94,73 persen. Sementara itu APM SMP/MTS tahun 1992 adalah 41,9 persen dan mencapai 66,52 persen pada tahun 2006. Jika kecenderungan seperti ini mampu dipertahankan, maka indonesia diperkirakan berhasil mencapai target MDG pada tahun 2015.

Angka partisipasi kasar (APK) sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah dan angka partisipasi kasar (APK) sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah dari tahun 1993 sampai tahun 2006 secara nasional menunjukkan kecenderungan membaik. apk sD/mi sejak tahun 1992 sudah mencapai 102,0 persen.

Perkembangan APM SD/MI dan APM SMP/MTs

                                Sumber: Susenas BPS (berbagai tahun)


Perkembangan APK SD/MI dan APK SMP/MTs


Sumber: Susenas BPS (berbagai tahun)













Perkembangan APK SD/MI dan APK SMP/MTs
 menurut tingkat kelompok pengeluaran keluarga





















Sumber: Susenas BPS (berbagai tahun)



Pada tahun 2006, angka ini menjadi 109,95 persen. namun untuk tingkat SMP/MTs, APKnya masih jauh tertinggal dibandingkan dengan APK SD/MI. Pada tahun 1992 APK SMP/MTS masih berada di angka 55,6 persen dan pada tahun 2006 baru mencapai 88,68 persen. indikator ini menginformasikan bahwa berbagai program SD/MI dan SMP/MTs non-reguler telah berhasil menjaring kembali murid SD/MI dan SMP/MTs untuk menuntaskan masa belajar mereka di bangku SD/MI maupun SMP/MTs. informasi ini juga menunjukkan bahwa dalam perjalanan mengikuti proses belajar mengajar, ternyata masih banyak siswa SD/MI yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Walaupun angka partisipasi kasar tingkat SD/MI maupun SMP/MTs menunjukkan perbaikan, tetapi bila dilihat dari tingkat kelompok pengeluaran rumah tangga, maka terdapat perbedaan antara kelompok rumah tangga miskin dan non-miskin. pada kelompok pengeluaran terbawah (kuantil 20% terbawah, Q1), apk SD/MI tahun 1995 adalah 104,88 persen dan mencapai 108,92 persen pada tahun 2006. Data tahun 1995 hingga 2006 menunjukkan indikasi bahwasanya APK SD/MI untuk kelompok pengeluaran terbawah ternyata berkembang lebih baik dari APK SD/MI untuk golongan pengeluaran teratas. peristiwa yang sama juga terjadi pada APK SMP/MTS antara tahun 1995 hingga 2006. APK SMP/MTs tahun 1995 pada kelompok pengeluaran terbawah tercatat 44,39 persen dan menjadi 70,78 persen pada tahun 2006.

Dari uraian di atas terlihat bahwa perbaikan kesejahteraan rumah tangga berpengaruh pada akses terhadap pendidikan, terutama bagi keluarga yang mempunyai anak usia sekolah sD dan smp. kesenjangan partisipasi pendidikan yang sangat mencolok antara kelompok pengeluaran terbawah (keluarga miskin) dan kelompok pengeluaran teratas (keluarga kaya) ini menunjukkan perlunya peningkatan perhatian pada kelompok keluarga miskin dalam memperoleh akses pendidikan.

Angka melek huruf (melek aksara) usia 15-24 tahun dan 15 tahun ke atas yang menggambarkan kemampuan keberaksaraan penduduk. kemampuan keberaksaraan penduduk indonesia terus meningkat, yang tercermin dari meningkatnya angka melek huruf penduduk dari 96,58 persen pada tahun 1992 menjadi 98,84 persen pada tahun 2006. meningkatnya tingkat keberaksaraan ini terutama terjadi pada kelompok usia muda yaitu usia 15-24 tahun. ini terjadi seiring dengan meningkatnya partisipasi pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan meningkatnya proporsi siswa sD/mi yang dapat menyelesaikan pendidikannya. namun, jika rentang usia diperlebar menjadi 15 tahun ke atas, angka buta aksara masih cukup tinggi yaitu sebesar 82,9 persen.

Perkembangan Angka Melek Huruf usia 15-24 tahun 1992-2006

                        Sumber: Susenas BPS (berbagai tahun)

Dilihat dari angka melek huruf (melek aksara) usia 15-24 tahun dan 15 tahun ke atas menurut kelompok pengeluaran keluarga tampak bahwa sebagian besar buta huruf terjadi pada kelompok pengeluaran terbawah (keluarga miskin). meskipun angka melek huruf penduduk miskin selalu lebih rendah dari penduduk kaya, tetapi dalam kurun waktu 1995-2006 angka melek huruf penduduk kelompok termiskin meningkat signifikan yaitu dari 92,94 persen menjadi 97,78 persen untuk usia 15-24 tahun dan dari 71,17 persen menjadi 87,17 persen untuk usia 15 tahun ke atas. berdasarkan jenjang pendidikan yang pernah diikuti per tahun 2006, tampak bahwa 85 persen penduduk usia 15 tahun yang buta aksara ternyata tidak pernah sekolah. Sebagian besar dari mereka kini berusia lanjut.

Angka Melek Huruf usia 15-24 tahun 1992-2006 menurut kelompok pengeluaran:

Sumber: Sisenas BPS (1995 & 2006)


Tingkat kelulusan pendidikan dasar. keberhasilan dalam meningkatkan angka partisipasi sekolah baik di sekolah dasar maupun di sekolah menengah belum diimbangi dengan peningkatan kelulusan yang memadai. memastikan semua anak laki-laki maupun perempuan di manapun untuk dapat menyelesaikan pendidikan dasar dihadapkan pada tantangan masih besarnya siswa putus sekolah (drop out) dan siswa yang mengulang.

Perbaikan kelulusan sesuai kohort untuk siswa sD antara tahun 1993/1994 sampai 2005/2006 tidak menggambarkan secara keseluruhan tingkat kelulusan siswa sekolah dasar dan tingkat siswa yang meneruskan ke jenjang pendidikan berikutnya. Hal ini merupakan tantangan terbesar dalam bidang pendidikan dasar.

Profil penduduk usia 15 tahun yang buta aksara menurut jenjang pendidikan yang pernah diikuti:


                   Sumber: Susenas BPS (2006)


Perkembangan angka putus sekolah sendiri mempunyai kecenderungan meningkat sejak tahun ajaran 2001/2002 sampai 2005/2006. antara tahun ajaran 2001/2002-2002/2003 terdapat 683 ribu atau 2,66 persen siswa sekolah dasar putus sekolah, lalu meningkat menjadi 767,8 ribu atau 2,97 persen pada 2002/2003-2003/2004, kemudian mencapai 777 ribu atau 2,99 persen pada 2003/2004-2004/2005, dan kemudian mencapai 824,7 ribu atau 3,17 persen pada 2004/2005-2005/2006.

Perkembangan angka menulang dan putus sekolah, Sekolah Dasar:
Sumber: Rangkuman Statistik persekolahan 2005/2006
Balitbang Pusat Statistik Pendidikan, Depdiknas: 2006

selain angka putus sekolah yang cukup besar, jumlah siswa yang mengulang juga juga masih cukup besar walaupun persentasenya terus menurun dari tahun ke tahun. antara tahun ajaran 2001/2002-2002/2003 terdapat 1.4 juta atau 5,9 persen siswa sekolah dasar yang mengulang, menjadi 978 ribu atau 5,4 persen pada 2002/2003-2003/2004, kemudian menjadi 1,17 juta atau 4,51 pada 2003/2004-2004/2005, dan kemudian menurun menjadi sekitar 1 juta atau 3,95 persen pada 2004/2005-2005/2006.

Dengan kondisi seperti ini maka tingkat melanjukan siswa sekolah dasar dengan kohort yang sama ke sekolah menengah pertama menjadi rendah pula. pada tahun 2005/2006, kohort siswa yang memasuki sD pada tahun 1999/2000 menunjukkan bahwa hanya 59 persen siswa yang dapat melanjutkan ke smp. persentase ini sudah meningkat bila dibandingkan dengan keadaan tahun 2002/2003. pada tahun tersebut kohort siswa yang masuk sD pada tahun 1996/1997 menunjukkan bahwa hanya 51 persen siswa yang berhasil mencapai SMP.


Di bidang Penanggulangan HIV/AIDS

Secara kumulatif, pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS dalam rentang waktu 10 tahun terakhir sampai dengan 31 Maret 2008 terdiri dari 6.130 HIV dan 11.868 AIDS. Jumlah HIV dan AIDS 17.998 dengan angka kematian sebanyak 2.486. Pelaporan diberikan oleh 32 propinsi dan 194 Kabupaten/Kota. Cara penularan kasus AIDS kumulatif yang dilaporkan adalah melalui IDU (49,1%) dan hubungan heteroseksual (42,1%).
Khusus dalam masa Januari sampai dengan Maret 2008, terdapat penambahan 64 infeksi HIV dan 727 kasus AIDS. Data diterima dari 19 propinsi. (Ditjen PPM & PL Depkes RI, Maret 2008).

Sumber : Ditjen PPM & PL Depkes RI, Maret 2008

Kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia produktif 20 – 29 tahun (53,62%). Mengingat AIDS biasa muncul sekitar 5 – 10 tahun sesudah seseorang tertular HIV, maka data tersebut memberi petunjuk bahwa mereka yang dilaporkan menderita AIDS pada usia  20 – 29 tahun sesungguhnya tertular HIV sebelum usia 20 tahun, yaitu sekitar usia 15 tahun bahkan lebih muda (Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS pada Anak dan Remaja 2007 – 2010,  2008). Meskipun jumlah perempuan yang tertular AIDS (2.466 kasus) masih jauh dibandingkan laki-laki (9.337 kasus), namun dampak AIDS pada perempuan/anak peremuan lebih signifikan. Hal ini berkaitan dengan kondisi sosial dan budaya yang masih ada dalam masyarakat termasuk tekanan teman sebaya, stigma dan diskriminasi (sebagai perempuan/anak perempuan dan sebagai pengguna Napza). Juga berkaitan dengan kondisi fisik, kerentanan penularan infeksi yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Golongan Umur

GOLONGAN USIA
AIDS
AIDS/IDU

< 1


55

0

1 – 4


114

0

5 – 14


42

3

15 – 19


387

110

20 – 29


6.364

3.976

30 – 39


3.298

1.383

40 – 49


936

199

50 – 59


243

30

> 60


58

12

Tidak diketahui


371

121
JUMLAH
11.868
5.834
Sumber : Ditjen PPM & PL Depkes RI, Maret 2008

Hasil estimasi populasi rawan tertular HIV tahun 2006 memperlihatkan angka tertinggi hampir di semua propinsi di Indonesia menunjuk pada penasun/IDU, dengan total untuk wilayah Indonesia sebesar 90.000 (Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2008).


Prevalensi HIV/AIDS pada penduduk usia 15-29 tahun diperkirakan masih di bawah 0,1 persen. Namun angka prevalensi pada sub-populasi perilaku beresiko telah melebihi 5 persen. bahkan di papua, Hiv dan aiDs telah masuk pada populasi umum (usia 15-49 tahun) dengan prevalensi 2,4 persen. epidemi aiDs sekarang telah terjadi hampir di seluruh indonesia. Hal ini dapat diketahui dari adanya laporan tentang kasus aiDs dari setiap provinsi. Jika pada tahun 2004 hanya 16 provinsi yang melaporkan adanya kasus aiDs, maka pada tahun 2007 aiDs telah dilaporkan di 32 provinsi. Jumlah kumulatif kasus aiDs yang dilaporkan juga meningkat cukup tajam, yaitu dari 2.682 kasus pada tahun 2004, menjadi 10,384 kasus hingga akhir September 2007.
Berdasarkan provinsi, Dki Jakarta tercatat sebagai provinsi dengan kumulatif jumlah kasus aiDs terbanyak yaitu 2.849 kasus, disusul Jawa barat 1.445 kasus, papua 1.268 kasus dan, Jawa timur 1.043 kasus.

Perkembangan kasus AIDS yang dilaporkan di Indonesia (10 tahun terakhir s.d September 2007)

Sumber: Depkes 2007

Jumlah kasus Hiv positif yang dilaporkan dalam 10 tahun terakhir juga cenderung meningkat dan hingga 30 september 2007 mencapai 5.904 kasus. (gambar 6.3). Departemen kesehatan memperkirakan bahwa populasi yang rawan tertular Hiv pada tahun 2006 sebesar 193.070 orang, dengan jumlah terbesar berturutturut di provinsi Dki Jakarta, papua, Jawa barat dan Jawa Timur



Di bidang Perlindungan

    1. Pekerja anak:

Jumlah pekerja anak usia 10-14 tahun di Indonesia selama periode tahun 2001-2002 selalu di atas 500.000 anak atau di atas 6% dari jumlah anak usia 10-14 tahun. Pada tahun 2003, jumlah pekerja anak usia 10-14 tahun mengalami penurunan menjadi sekitar 367.610 anak (43,62%), namun kembali mengalami kenaikan sekitar 488.850 anak (5,83%) pada tahun 2004. Sedangkan pada tahun 2005, jumlah pekerja anak usia 10-14 tahun kembali menurun sekitar 383.210 anak (4,43%).
Dari data tersebut, bisa diperkirakan bahwa pada kurun waktu tahun 2001-2005, dalam setiap 100 anak usia 10-14 tahun terdapat 4 sampai 6 pekerja anak, yang memiliki kondisi yang pasti berbeda dengan anak-anak lainnya di usia yang sama, bahkan kehilangan hak dan kesempatan untuk hidup selayaknya anak dalam usia tersebut.

Perkembangan Pekerja Anak Usia 10-14 Tahun
Tahun 2001-2005 (dalam ribuan)

(Diolah dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional/Sakernas
Agustus 2001-2004 dan November 2005)

Tahun
Anak Usia
10-14 Tahun
Pekerja Anak Usia
Usia 10-14 Tahun
2001
20,862.8
1,322.70
6.34
2002
21,263.9
1,414.05
6.65
2003
19,450.4
898.61
4.62
2004
20,998.9
1,224.24
5.83
2005
21,686.3
960.70
4.43

Catatan: angka dalam tanda kurung menunjukkan persentase pekerja anak
usia 10-14 tahun terhadap jumlah anak usia 10-14 tahun.
(Sumber: Indaryanti dan Lisna [eds.], 2005:77-78)




Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) anak usia 10-14 tahun menurut provinsi berdasarkan Sakernas November 2005 di seluruh Indonesia mencapai rata-rata 4,43%. Artinya, dari 100 anak usia 10-14 tahun terdapat 4 anak yang menjadi pekerja anak (Indaryanti dan Lisna, 2005: 160).

Jika dibandingkan antar provinsi se-Indonesia, Papua merupakan provinsi dengan TPAK anak usia 10-14 tahun tertinggi dari seluruh provinsi lain di Indonesia, yakni mencapai 15,94%. Urutan provinsi dengan TPAK tertinggi berikutnya adalah Bali (9,90%), Nusa Tenggara Barat (9,67%), Sulawesi Selatan (9,66%), Jambi (9,29%).

Sementara itu, Nangroe Aceh Darussalam merupakan provinsi dengan TPAK anak usia 10-14 tahun terendah dari seluruh provinsi lain di Indonesia, yakni mencapai 1,19%. Urutan provinsi dengan TPAK terendah berikutnya adalah DKI Jakarta (1,25%), Maluku (1,55%), Kalimantan Tengah (1,88%), dan Riau (2,58%).

Menurut catatan Komnas Perlindungan Anak, di 33 provinsi, jumlah pekerja anak meningkat. Tahun 2006 jumlahnya mencapai 3,2 juta dan menjadi 4,8 juta pada 2007. Tahun 2008 diperkirakan menjadi 6,3 juta. Perkiraan ini berdasarkan pola tahun-tahun sebelumnya (Kompas, 13 Juni 2008).

Jumlah anak berusia 0-18 tahun yang bekerja sebagai pekerja anak sangat dimungkinkan jauh lebih besar dari yang dilaporkan menurut data-data Sakernas tersebut. Sebagai perbandingan, dalam laporan Indosiar News (2 Februari 2008) disebutkan, menurut laporan survei BPS tentang pekerja anak di Indonesia, jumlah pekerja anak mencapai 2,8 juta anak hingga tahun 2006. Dari jumlah tersebut, jumlah terbanyak adalah dari pekerja anak perempuan yakni 1.734.126 orang, sedangkan pekerja anak laki-laki 130.948 orang. Sedangkan menurut International Labour Organization (ILO), pada tahun 2007 jumlah pekerja anak di Indonesia mencapai 2,6 juta jiwa. Sebagian besar dari mereka bekerja disektor pertanian keluarga, perusahaan manufaktur, dan perdagangan skala kecil. (Website Serikat Pekerja PT. Jakarta International Container Terminal/SP JICT, 5 April 2008).


b.  Anak yang diperdagangkan untuk tujuan seksual komersial:

UNICEF [2005] menyatakan bahwa diperkirakan bahwa 30% dari perempuan pekerja seks di Indonesia berusia di bawah 18 tahun, meskipun diakui juga kenyataan bahwa anak-anak perempuan seringkali melebih-lebihkan usia mereka. Bahkan pada beberapa kasus ditemukan anak-anak perempuan yang masih berusia 10 tahun.
Data dari Departemen Sosial menunjukkan perkiraan bahwa lebih dari 3000 wisatawan dari negara tetangga [Malaysia dan Singapura] berkunjung ke Batam setiap minggunya dengan tujuan untuk melakukan aktivitas seksual dengan pekerja seks di pulau tersebut. Sekitar 30 % dari total pekerja seks yang berjumlah 5.000 sampai dengan 6.000 orang adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun [Koalisi Nasional Penghapusan ESKA, 2006].
Kasus prostitusi anak dilaporkan banyak terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, seperti Medan, Pontianak, Palembang, Jakarta, Indramayu, Jepara, Pati, Surabaya, Makassar, Manado, Maluku dan Papua. Batam, Bali dan Pontianak dalam hal ini merupakan daerah dengan prostitusi anak dalam jumlah besar. Praktek ESKA [Eksploitasi Seksual Komersial Anak] berlangsung terutama di pusat-pusat prostitusi, tempat hiburan, karaoke, panti pijat, pertokoan dll [UNICEF, 2005; Koalisi Nasional Penghapusan ESKA, 2006]. Sedangkan mayoritas pelaku [user] adalah penduduk lokal sendiri atau pengunjung domestik, namun demikian terdapat beberapa kasus yang melibatkan pengunjung atau wisatawan dari mancanegara [UNICEF, 2005; Koalisi Nasional Penghapusan ESKA, 2006].

c. Anak yang diperdagangkan (trafiking anak)

Hasil pendataan Pusdatin [Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial] Departemen Sosial Republik Indonesia pada tahun 2004 yang bersumber dari data-data LSM di 9 propinsi menunjukkan bahwa pada tahun 2004 tercatat ada 932 anak yang menjadi korban trafiking dan tersebar di provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara, Lampung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara.

Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa mayoritas anak yang menjadi korban trafiking [96%] adalah anak perempuan. Dari 9 provinsi tersebut, kasus yang tercatat paling banyak adalah di propinsi Nusa Tenggara Barat. Meskipun demikian, perlu diperhatikan keterbatasan sumber pendataan ini yang hanya berasal dari 20 LSM yang tersebar di 9 provinsi, terlepas bahwa LSM-LSM tersebut diyakini telah melakukan investigasi maupun penanganan trafiking anak seperti yang telah diidentifikasi oleh International Catholic Migration Commission [ICMC].

Data menunjukkan bahwa bentuk trafiking yang memakan korban paling banyak adalah migrasi, dan secara khusus tercatat ada 578 anak yang menjadi korban di propinsi Nusa Tenggara Barat saja.

Data menunjukkan jumlah balita dan anak korban trafiking yang ditangani oleh IOM (International Organization for Migration) Indonesia sejak Maret 2005 sampai dengan April 2007 tercatat ada 643 balita dan anak.

Mayoritas korban tersebut adalah perempuan dan jumlah tersebut merupakan 288 dari total korban trafiking yang ditangani IOM pada kurun waktu tersebut. Data ini kemudian meningkat karena berdasarkan data IOM periode Maret 2005 – Januari 2008 tercatat sebanyak 790 balita dan anak, dimana ada 5 bayi, 651 anak perempuan dan 134 anak laki-laki (KPP, 2008). Artinya ada peningkatan sebesar 147 balita/anak dalam waktu 9 bulan. Data lain yang perlu ditengok adalah data Bareskrim Kepolisian RI dari tahun 2003 – 2007 yang mencatat perdagangan orang sebanyak 492 kasus dengan melibatkan 1.015 orang dewasa (81 %) dan 238 anak-anak (19 %) [KPP, 2008].