Strategi Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA)


A. Pengertian PUHA

Dalam upaya meningkatkan pembangunan yang berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak, perlu dikembangkan strategi PUHA dengan maksud menjadikan pemenuhan dan perlindungan hak anak sebagai pertimbangan utama dari para pengambil keputusan perencanaan pembangunan di nasional, propinsi dan kabupaten/kota.

Istilah pengarusutamaan terinspirasi dari Pengarusutamaan Gender (PUG) yang merupakan upaya mengakselerasi terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender dalam semua bidang. Karena itu, dalam membuat definisi PUHA-pun perlu menilik apa yang dimaksud dengan PUG. Definisi PUG yang banyak diacu berasal dari versi    United Nations Economic and Social Council (1997) yakni : “Mengarusutamakan perspektif gender adalah proses memeriksa pengaruh terhadap perempuan dan laki-laki setelah dilaksanakannya sebuah rencana, termasuk legislasi dan program-program, dalam berbagai bidang dan di semua tingkat. Ia adalah sebuah strategi untuk membuat masalah dan pengalaman perempuan maupun laki-laki menjadi bagian yang menyatu dengan rencana, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian kebijakan program dalam semua aspek politik, ekonomi, dan sosial, supaya perempuan dan laki-laki sama-sama mendapatkan manfaatnya dan ketidaksetaraan tidak berlanjut. Tujuan akhirnya adalah kesetaraan gender”. (Sinta R. Dewi, Gender Mainstreaming : Feminisme, Gender, dan Transformasi Institusi, Jurnal Perempuan No. 50, 2006 hal. 13).

Mengacu pada definisi tersebut, kita dapat memperolah gambaran yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan “pengarusutamaan”. Pengarusutamaan merupakan suatu stratagi untuk mencapai tujuan. Sedangkan cakupan pengarusutamaan cukup luas yakni mencakup semua bidang, semua tingkat dan semua aspek manajemen (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan penilaian).

Strategi PUHA merupakan salah satu strategi yang telah dimasukan dalam RPJMN 2004-2009. Strategi PUHA diartikan sebagai strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk mencapai perlindungan dan tumbuh kembang anak melalui pengintegrasian hak-hak anak ke dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, kebijakan, program, kegiatan dan anggaran, mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. PUHA dijadikan sebagai batasan dan pijakan dalam menyusun suatu kebijakan dan program.

Strategi PUHA mencakup tiga tataran yakni makro, meso dan mikro. Tataran makro adalah perundangan dan kebijakan strategis. Perencanaan dalam program jangka pendek, menengah dan panjang merupakan tataran meso. Pada tataran mikro mencakup kegiatan-kegiatan dan anggaran yang berpihak pada anak.

PUHA sebagai strategi untuk mencapai perlindungan dan tumbuh kembang anak harus dapat membuktikan bahwa aspek perlindungan dan tumbuh kembang anak benar-benar tercermin dan terpadu dalam empat fungsi utama manajemen program, yaitu :
1.     Perencanaan : menyusun pernyataan atau tujuan yang jelas bagi perlindungan dan tumbuh kembang anak;
2.     Pelaksanaan : memastikan bahwa strategi yang dijelaskan mempunyai dampak pada anak;
3.     Pemantauan : mengukur kemajuan dalam pelaksanaan program dalam hal partisipasi dan manfaat bagi anak;
4.     Penilaian : memastikan bahwa anak benar-benar menjadi terlindungi sebagai hasil prakarsa tersebut.


B. Komponen Pemenuhan Hak Anak

Pelaksanaan PUHA sebagai strategi pemenuhan dan perlindungan hak anak harus memperhatikan keterkaitan tiga komponen pemenuhan hak anak yakni 1) kebijakan pembangunan; 2) kegiatan perwujudan hak anak; dan 3) keterlibatan dari para pemangku kepentingan.

1.   kebijakan pembangunan
     Upaya pengembangan kebijakan dibuat untuk mendorong dan melindungi upaya pemenuhan hak anak. Kebijakan publik seyogyanya sensitive terhadap anak, dan mempunyai manfaat positif bagi nasib anak.
     Misalnya :
-      sudah adakah kode etik (code of conduct) yang terkait dengan penegakan hak anak di lingkungan bekerja ?
-      Berapa besar (persentase) anggaran yang dialokasikan bagi program untuk kepentingan terbaik bagi anak, termasuk kegiatan yang mendorong strategi PUHA itu sendiri ?

2.   kegiatan perwujudan hak anak
Komponen pemenuhan hak anak merupakan wujud dari berbagai kegiatan sebagai upaya untuk menghilangkan kesenjangan (affirmative actions).

Manfaat bagi anak selayaknya dipastikan dalam setiap program pembangunan berdasarkan kepentingan terbaik anak dalam menikmati hak mereka.

Besaran masalah anak menjadi kunci bagi setiap proses pembangunan. Dengan demikian peningkatan pemahaman dan perhatian berbagai pihak terhadap besaran masalah anak perlu menjadi perhatian dalam proses pembangunan dengan cara mengetengahkan data yang dapat dipertanggungjawabkan.

3.   Keterlibatan pemangku kepentingan
Pemangku kepentingan (pengambil keputusan, baik eksekutif dan legislatief serta masyarakat sipil) harus memiliki pemahaman terhadap hak anak, khususnya yang berkaitan dengan upaya pemenuhan dan perlindungan hak anak.

Pemangku kepentingan diharapkan menjadi penggagas dan tokoh kunci dalam proses perencanaan program pembangunan secara berkesinambungan.
    
     Pemangku kepentingan harus memiliki pengetahuan, sikap dan tindakan (Knowlegde, attitude, Practice/KAP) yang peduli terhadap perwujudan hak anak. KAP yang wajib dimiliki oleh pemangku kepentingan adalah pemahaman terhadap hak anak, khususnya yang berkaitan dengan upaya pemenuhan dan perlindungan hak anak.
    
     Upaya penguatan kapasitas pemangku kepentingan tidak hanya untuk aparat pemerintah, tetapi termasuk juga pengasuh anak (care givers) dan masyarakat (misalnya LSM peduli anak). Kelompok pemerhati hak anak (Community Based Organization/CBO) perlu dikembangkan partisipasi mereka untuk membantu memastikan efektivitas program pembangunan bagi pemenuhan hak anak, sekaligus mendukung pelaksanaan dan melakukan monitoring dan evaluasi.

Fokus PUHA tentu saja adalah anak sebagai pemegang hak. Dalam hal ini anak harus didorong untuk berperan aktif dalam memberikan masukan sepanjang proses penyusunan kebijakan, program, kegiatan dan bahkan penganggaran. Anak hendaknya mendapatkan fasilitasi bagi ketersediaan akses dan informasi yang layak sesuai dengan umur dan kematangan anak. Anak juga harus diberikan keterampilan untuk menyalurkan dan menyampaikan ekspresinya, sedemikian rupa sehingga didengarkan, dihargai, dan dipertimbangkan oleh para pengambil keputusan.

Pemberdayaan dan perlindungan terhadap kelompok anak sendiri perlu dilakukan sebagai konsekuensi dari karakteristik anak itu sendiri sebagai kelompok yang rentan, tidak berdaya dan masih memerlukan perlindungan dari orang dewasa. Jika anak harus diberdayakan maka hal itu bukanlah dalam rangka untuk mensejajarkan  status dan kedudukannya dihadapan orang dewasa, tetapi lebih merupakan upaya perlindungan terhadap hak-haknya yang sering dilanggar orang dewasa. Apalagi jika kelompok anak itu adalah kelompok anak yang masuk kategori memerlukan perlindungan khusus (children in need special protection/cnsp), maka perlakuannyapun bersifat khusus.

Pemberdayaan pada kelompok anak bertujuan agar anak memahami dan menyadari bahwa mereka memiliki hak-hak yang harus dipenuhi dan diperjuangkan, baik oleh mereka sendiri maupun melalui bantuan orang dewasa. Pemberdayaan ini lebih efektif jika ditujukan pada kelompok-kelompok anak atau anak-anak yang sudah terorganisir dalam suatu kelompok, dan bukan pemberdayaan pada orang perorang. Dengan demikian prasyarat yang berupa kelompok atau organisasi anak menjadi hal yang sangat mendasar. Oleh karena itu pembentukan kelompok-kelompok anak atau organisasi abak harus didorong dan dikembangkan. Organisasi anak tersebut, apapun namanya, akan berfungsi sebagai wadah penyalur aspirasi anggota mereka maupun anak-anak pada umumnya.


C. Tahapan PUHA

Proses PUHA selalu diawali dengan analisis situasi anak, dilanjutkan dengan perencanaan program,  pelaksanaan dan pemantauan, serta evaluasi program. Setiap tahapan PUHA selalu mempertimbangkan empat prinsip hak anak.

1. Tahap Analisis Situasi Anak
Tahap analisis situasi anak dimaksudkan untuk menilai besaran masalah dan akar masalah dari setiap isu anak berdasarkan situasi terakhir sehingga dapat dikembangkan berbagai kebijakan dan program yang menjawab kebutuhan pemenuhan hak anak dengan tepat sesuai target pemenuhan hak anak yang disepakati, baik secara internasional, nasional maupun lokal.
Analisis situasi anak dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.

2.  Tahapan perencanaan
Tahapan perencanaan meliputi penentuan situasi anak yang akan dicapai (vision) berdasarkan pada kesenjangan pemenuhan hak anak hasil analisis situasi anak pada tahap 1, dan dilanjutkan dengan penentuan prioritas program pembangunan sebagai upaya pemenuhan hak anak yang meliputi penentuan tujuan (outcomes) yang biasanya berupa perubahan KAP, keluaran (outputs) yang mendorong pencapaian outcomes, kegiatan sebagai proses untuk mengubah masukan menjadi keluaran yang berkualitas, dan diakhir dengan pengembangan masukan.
Setiap perencanaan dimulai dengan menentukan hak anak yang akan dipenuhi dari suatu kebijakan, program atau kegiatan yang akan direncanakan.

3.  Pelaksanaan dan pemantauan
PUHA mensyaratkan pelaksanaan program selalu mempertimbangkan 4 prinsip hak anak dan tidak menempatkan anak pada posisi yang beresiko.
Situasi anak saat program dikembangkan (baseline data) dan kondisi yang akan dicapai (vision) merupakan informasi penting pada tahap ini.
Dalam tahap ini, seperangkat indikator perlu dikembangkan sebagai dasar untuk melakukan tinjauan terhadap keberhasilan program perwujudan hak anak.
Pengembangan indikator berdasarkan hak anak akan membantu pelaksana program melakukan tinjauan efektivitas program dan melakukan peningkatan kualitas sesuai kebutuhan. Target capaian setiap indicator dapat menggunakan nilai yang telah dikembangkan secara nasional dalam PNBAI. Namun setiap daerah dapat pula mengembangkan target indikator sendiri sesuai dengan kemampuan dan kondisi daerahnya masing-masing.

Keberhasilan strategi PUHA sangat tergantung pada komitmen dan peranserta semua pihak dalam rangka pemenuhan hak anak. Untuk menjamin keberhasilan harus dilakukan pengawasan dan evaluasi secara bersama-sama agar apa yang menjadi tujuan program perlindungan anak bisa tercapai dengan baik.




1.    Kebujakan Kota Layak Anak  ...................(Bpk Wahyu)


BAHAN MASUKKAN UNTUK WORKSHOP PEMBANGUNAN KPA
DI TINGKAT PEMERINTAH PROVINSI
TAHUN 2009
1.      
Dasar pemikiran

1.1
Situasi anak


Anak merupakan potensi yang sangat penting, generasi penerus masa depan bangsa, penentu kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang akan menjadi pilar utama pembangunan nasional, sehingga perlu ditingkatkan kualitasnya dan mendapatkan perlindungan secara sungguh-sungguh dari semua elemen masyarakat.


SDM yang berkualitas tidak dapat lahir secara alamiah, bila anak dibiarkan tumbuh dan berkembang tanpa perlindungan, maka mereka akan menjadi beban pembangunan karena akan menjadi generasi yang lemah, tidak produktif dan tidak kreatif, sedangkan jumlah mereka lebih dari sepertiga penduduk Indonesia.


Makanan dan pakaian saja belum cukup untuk menjadikan anak sebagai media persemaian SDM yang berkualitas, kreatif, berdaya saing tinggi yang memiliki jiwa nasionalisme dan pekerti luhur. Perlu adanya kesadaran yang tinggi dan kemauan politik yang kuat untuk menciptakan lingkungan yang peduli dan responsif terhadap kepentingan dan kebutuhan anak.


Secara individu, jutaan anak menghadapi resiko busung lapar dan ketidakcukupan nutrisi yang mengancam pertumbuhan dan masa depannya. Angka kematian bayi 32 perseribu kelahiran hidup (2005), masih sangat tinggi. Mereka menghadapi ketidakpastian untuk hal-hal mendasar yang seharusnya menjadi hak mereka seperti kepemilikan akta kelahiran, akses terhadap pendidikan yang terjangkau, terbebas dari perlakuan salah, kekerasan ekonomi, seksual dan psikis.


Secara sosial, anak-anak tidak berdaya menghadapi gelombang sajian  iklan dan pemandangan kehidupan konsumerisme yang sangat kapitalistik yang merugikan perkembangan jiwa anak-anak secara langsung maupun tidak langsung.


Misalnya saat ini terdapat 43 juta anak mejadi perokok pasif. Komnas perlindungan anak melaporkan bahwa 99,7 persen anak-anak terpapar iklan rokok, hasil survey Global Youth Tobacco Survey di Indonesia 12,6% siswa smp adalah perokok, 3,2 % diantaranya tergolong kecanduan.


Sejak tahun 2006 hingga saat ini rata-rata terdapat 2 sampai 4 anak mengalami tindak kekerasan setiap hari. Lebih dari seperempat anak perempuan mengalami perkosaan. Jumlah anak yang berkonflik dengan hukum mencapai 4.277 anak, hal ini berarti setiap hari terdapat 11 s.d 12 anak berkonflik dengan hukum (Bareskrim Polri), sementara itu anak yang hidup di penjara hingga saat ini mencapai 13.242 anak.


Di sektor pendidikanpun anak-anak masih banyak yang tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan. Angka partisipasi murni sekolah menengah pertama sebesar 65,37% tahun 2005. Padahal seharusnya dengan program wajib belajar 9 tahun, semua anak Indonesia.


Kota-kota di Indonesia, saat ini, mengalami pertumbuhan setiap tahun rata-rata 4,4% (UNICEF, 2007: 123), akibat dari pertumbuhan penduduk dan migrasi penduduk desa ke kota sehingga kota yang tidak terkendali. Akibatnya penyediaan pelayanan dasar, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan peluang untuk kerja semakin sulit.


Jumlah penduduk dalam kategori anak, yaitu <18 tahun, saat ini 75.641.000 anak, jumlah anak yang berusia dibawah lima tahun 21.571.000 anak, Mereka merupakan kelompok yang rentan mengalami berbagai masalah social (UNICEF, 2007: 123), karena mereka selalu mengahadapi resiko kekerasan baik di rumah, di sekolah, di tempat bermain, maupun ditempat-tempat umum seperti tempat rekreasi, terminal, stasiun, tempat-tempat ibadah dll.


Selain itu, ruang bermain anak belum tersedia dalam jumlah yang cukup karena belum menjadi prioritas pembangunan pemerintah kabupaten/kota, belum adanya rute yang aman bagi anak ke sekolah maupun ke tempat-tempat aktivitas anak lainnya, yang ditandai dengan merebaknya berbagai kasus kekerasan terhadap anak. Hal lain, masih terbatasnya kebijakan pemerintah untuk menyatukan isu hak ke dalam perencanaan pembangunan kabupaten/kota, serta belum teritegrasinya hak perlindungan anak ke dalam pembangunan kabupaten/kota.

1.2.
Perlunya Kebijakan KLA


Situasi anak tersebut memerlukan adanya suatu kebijakan pembangunan kabupaten/kota yang mengintegrasikan sumberdaya pembangunan untuk memenuhi hak anak mulai proses perencanaan, implementasi hingga pengawasan dan penilaiannya, yaitu kebijakan pembangunan kabupaten/kota layak anak (KLA).


KLA diharapkan dapat menjadi model pembangunan yang mewadahi seluruh kegiatan dan upaya untuk menciptakan keluarga yang sayang anak, rukun tetangga dan rukun warga atau lingkungan yang peduli anak, kelurahan dan desa layak anak dan kecamatan atau kabupaten/kota yang layak bagi anak sebagai prasyarat untuk memastikan bahwa anak-anak tumbuh dan berkembang dengan baik, terlindungi haknya dan terpenuhi kebutuhan pisik dan psikologisnya.



2.      
Maksud dan Tujuan

2.1
Maksud


Untuk membangun inisiatif pemerintahan kabupaten/kota yang mengarah pada upaya transformasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Anak dari kerangka hukum ke dalam definisi, strategi, dan intervensi pembangunan seperti kebijakan, kelembagaan dan program yang layak anak.

2.2
Tujuan


Tujuan kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak adalah:


a.
Untuk meningkatkan komitmen  pemerintah, masyarakat dan dunia usaha di kabupaten/kota dalam upaya mewujudkan pembangunan yang responsif  terhadap hak, kebutuhan dan kepentingan terbaik bagi anak;


b.
Untuk mengintegrasikan potensi sumber daya manusia, keuangan, sarana prasarana, metoda dan teknologi yang ada pada pemerintah, masyarakat serta dunia usaha di kabupaten/kota dalam mewujudkan hak anak;


c.
Untuk mengimplementasi kebijakan perlindungan anak melalui perumusan strategi dan perencanaan pembangunan kabupaten/kota secara menyeluruh dan berkelanjutan sesuai dengan indikator KLA; dan


d.
Untuk memperkuat peran dan kapasitas pemerintah kabupaten/kota dalam mewujudkan pembangunan di bidang perlindungan anak.




3.      
Ruang Lingkup

Ruang lingkup Kebijakan KLA meliputi pembangunan di bidang kesehatan, pendidikan, perlindungan, infrastruktur, lingkungan hidup dan pariwisata baik secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan implementasi hak anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.

Kebijakan KLA mencakup aspek ketemagaan, pembiayaan, pengawasan dan penilaian, penelitian dan pengembangan serta keterwakilan aspirasi dan kepentingan anak dalam pengambilan keputusan pembangunan kabupaten/kota.
4.      
Sasaran

4.1
Sasaran antara


a.
Lembaga eksekutif.


b.
Lembaga legislatif.


c.
Lembaga yudikatif.


d.
Organisasi non pemerintah.


e.
Dunia usaha.


f.
Masyarakat





4.2
Sasaran akhir


a.
Keluarga.


b.
Anak.
5.      
Pengertian

Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) adalah model pembangunan kabupaten/kota yang mengintegrasikan komitmen dan sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam rangka memenuhi hak anak yang terencana secara menyeluruh (holistik) dan berkelanjutan (sustainable) melalui pengarusutamaan hak anak (PUHA).
6.                   
Tinjauan Sejarah KLA

Pembangunan KLA diawali dengan penelitian mengenai “Children’s Perception of the Environment” oleh Kevin Lynch (arsitek dari Massachusetts Institute of Technology) di 4 kota – Melbourne, Warsawa, Salta, dan Mexico City – tahun 1971-1975. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan kota yang terbaik untuk anak adalah yang mempunyai masyarakat yang kuat secara fisik dan sosial; masyarakat yang mempunyai aturan yang jelas dan tegas; yang memberi kesempatan pada anak; dan fasilitas pendidikan yang memberi kesempatan anak untuk mempelajari dan menyelidiki lingkungan dan dunia mereka. Penelitian tersebut dilakukan dalam rangka program Growing Up In Cities (GUIC) – tumbuh kembang di perkotaan – yang disponsori oleh UNESCO. Salah satu tujuan GUIC adalah mendokumentasikan persepsi dan prioritas anak, sebagai basis program peran serta, bagi perbaikan kota.

Pada perkembangan selanjutnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Konvensi Hak Anak pada tahun 1989, dengan memasukan salah mengeluarkan satu ketentuan mengenai hak anak untuk mengekspresikan pendapatnya. Ini artinya anak mempunyai suara, disamping adanya prinsip lain seperti non-diskriminasi; kepentingan terbaik untuk anak; dan hak untuk hidup dan mengembangkan diri.

Pada KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992, para kepala pemerintahan dari seluruh dunia menyepakati prinsip-prinsip Agenda 21 yaitu Program Aksi untuk Pembangunan Berkelanjutan. Bab 25 Agenda 21 menyatakan bahwa, anak dan remaja sebagai salah satu Major Group – Kelompok Utama – yang dilibatkan untuk melindungi lingkungan dan kegiatan masyarakat yang sesuai dan berkelanjutan. Bab 28 Agenda 21 juga menjadi rujukan bahwa, remaja berperan serta dalam pengelolaan lingkungan. Akan tetapi yang paling mendesak adalah agar pemerintah kota melibatkan warga dalam proses konsultasi untuk mencapai konsensus pada “Agenda 21 Lokal,” dan mendorong pemerintah kota menjamin bahwa anak dan remaja terlibat dalam proses pembuatan keputusan, perencanaan, dan pelaksanaan.

Setelah 25 tahun, hasil penelitian Kevin Lynch ditinjau kembali, dan dilakukan penelitian serupa oleh Dr Louise Chawla dari the Children and Environment Program of the Norwegian Centre for Child Research – Trondheim, Norwegia tahun 1994-1995. Penelitian yang disponsori oleh UNESCO dan Child Watch International, dilakukan di Buenos Aires dan Salta, Argentina; Melbourne, Australia; Northampton, Inggris; Bangalore, India; Trondheim, Norwegia; Warsawa, Polandia; Johannesburg, Afrika Selatan; dan Oaklands, California, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini menjadi indikator bagi UNICEF dalam mengawasi pemenuhan hak anak di kota sebagai bagian dari Child Friendly City Initiative untuk pemerintah kota.

Pada Konferensi Habitat II atau City Summit, di Istanbul, Turki tahun 1996, perwakilan pemerintah dari seluruh dunia bertemu dan menandatangani Agenda Habitat, yakni sebuah Program Aksi untuk Membuat Permukiman lebih nyaman untuk ditempati dan berkelanjutan. Paragraf 13 dari pembukaan Agenda Habitat, secara khusus menegaskan bahwa anak dan remaja harus mempunyai tempat tinggal yang layak; terlibat dalam proses mengambilan keputusan, baik di kota maupun di masyarakat; terpenuhi kebutuhan dan peran anak dalam bermain di masyarakatnya. Melalui City Summit itu, UNICEF dan UNHABITAT memperkenalkan Child Friendly City Initiative, terutama menyentuh anak kota, khususnya yang miskin dan yang terpinggirkan dari pelayanan dasar dan perlindungan untuk menjamin hak dasar mereka.

Pada UN Special Session on Children, Mei 2002, para walikota menegaskan komitmen mereka untuk aktif menyuarakan hak anak, pada pertemuan tersebut mereka juga merekomendasikan kepada walikota seluruh dunia untuk:

a.
mengembangkan rencana aksi untuk kota mereka menjadi Kota Ramah dan melindungi hak anak,

b.
mempromosikan peran serta anak sebagai aktor perubah dalam proses pembuatan keputusan di kota mereka terutama dalam proses pelaksanaan dan evaluasi kebijakan pemerintah kota.

Upaya UNICEF dan UNHABITAT ini terus menerus dipromosikan ke seluruh dunia dengan upaya meningkatkan kemampuan penguasa lokal (UN Special Session on Children, 2002).

Pada World Summit on Sustainable Development di Johannesburg, Afrika Selatan tahun 2002, para pemimpin negara dari seluruh dunia antara lain menyepakati untuk mewujudkan perbaikan yang signifikan pada kehidupan bagi sedikitnya 100 juta masyarakat penghuni kawasan kumuh, seperti yang diusulkan dalam prakarsa “Kota tanpa Permukiman Kumuh” (Cities without Slums) pada tahun 2020. Hal ini mencakup tindakan pada semua tingkatan untuk:

a.
meningkatkan akses pada tanah dan properti, permukiman yang memadai dengan pelayanan dasar bagi masyarakat miskin di perkotaan dengan perhatian khusus pada kepala rumah tangga perempuan;

b.
mendukung otoritas lokal dalam menjabarkan program perbaikan daerah kumuh dalam kerangka rencana pengembangan perkotaan dan mempermudah akses, khususnya bagi masyarakat miskin, pada informasi mengenai peraturan tentang perumahan.

Melalui pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), pemerintah membuat suatu upaya nyata untuk menyatukan isu hak anak ke dalam perencanaan dan pembangunan kabupaten/kota. Mengingat program pelayanan dasar perkotaan dipandang sebagai program khusus dan merupakan kerangka kerja dari kantor pemerintahan kabupaten/kota, Pengembangan KLA diimplementasikan melalui pemerintah kabupaten/kota yang digabungkan ke dalam mekanisme dan kerangka kerja institusi yang ada. Pengembangan KLA secara terus menerus diimplementasikan ke sejumlah bagian kabupaten/kota yang terbatas dengan program pelayanan dasar perkotaan yang secara maksimum didukung oleh sumber daya yang ada. Dengan mengintegrasikan konsep perlindungan anak ke dalam program pembangunan kabupaten/kota akan lebih mudah dibandingkan dengan merealisasikan Konvensi Hak Anak secara langsung.
7.      
Aspek Filosofis

Sila kedua dari Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” secara filosofis telah mengamanatkan kepada kita untuk mempertimbangkan secara sungguh-sungguh aspek kemanusiaan, keadilan dan keberadaban dalam melaksanakan pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Makna kata “bagi seluruh rakyat Indonesia” mengandung prinsip-prinsip non-diskriminasi, pemerataan, dan tidak ada dominasi monopoli kepentingan dalam pembangunan dan kehidupan sosial khususnya bagi anak.

Tanggung jawab pemerintahan kabupaten/kota didasarkan pada ketentuan :

a.
Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Tujuan Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”;


b.
Bab X A Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28B ayat (2) yang berbunyi “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

8.      
Aspek Sosiologis

Fenomena sosial yang ada memperlihatkan kondisi yang tidak kondusif bagi tumbuh kembang anak, terutama dalam kehidupan keluarga, teman sebaya, masyarakat, media massa dan politik.

Pada kehidupan keluarga terjadi pelunturan nilai-nilai kekeluargaan; merenggangnya hubungan antara anak dan orang tua; anak dengan anak; dan antar keluarga atau tetangga. Hal ini menyebabkan perlindungan anak belum terpenuhi. Sikap permisif terhadap nilai-nilai sosial yang selama dianut mulai ditinggalkan.

Pada kenyataannya hubungan sosial sebaya telah menyebabkan kekhawatiran orang tua terhadap anak, ketika mereka berada di luar lingkup keluarga. Beberapa kasus yang ditemukan menunjukkan bahwa banyak teman sebaya melakukan tindakan di luar kepatutan seperti keterlibatan dalam kasus narkoba, seks bebas, tindakan amoral dan asosial lainnya.

Pada kehidupan masyarakat, nilai-nilai kebersamaan dan kegotong-royongan, serta kesetiakawanan sosial sudah menjadi sesuatu yang langka. Gejala ini, terlihat dari ketidakpedulian pada kehidupan lingkungan sekitar, sehingga hal ini menyebabkan kepedulian terhadap kesejahteraan dan perlindungan anak kurang optimal.

Media massa dengan pewartaan dan penayangan kekerasan dan eksploitasi terhadap anak menjadi hal yang biasa, tidak hanya di kota-kota besar tetapi juga di pelosok. Hal ini menambah sederet persoalan yang juga mengganggu tumbuh kembang anak.

Pada kehidupan politik, anak belum menjadi isu utama. Partai politik sebagai agen perubahan belum mengakomodir kepentingan anak dalam programnya. Sehingga isu kesejahteraan dan perlindungan anak kurang mendapat perhatian.
9.      
Aspek Antropologis

Memudarnya nilai-nilai kebersamaan, paguyuban, dan kekerabatan, merupakan salah satu faktor yang membuat menurunnya nilai-nilai yang selama ini memberikan rasa nyaman bagi anak dalam masyarakat. Gejala ini tergambar dari tanggungjawab masyarakat yang hanya lebih memfokuskan pada keluarga inti, sehingga berbagai hal yang terjadi pada kerabat atau paguyuban kurang mendapat perhatian pada masing-masing keluarga. Pranata sosial tidak mampu mengakomodir kepentingan masyarakatnya, hal ini berdampak pada semakin tidak optimalnya perlindungan anak.

Berkurangnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan menyebabkan masyarakat menjadi tidak toleran dan lebih individual, sehingga akan muncul kecemburuan sosial dengan persaingan yang tidak sehat. Lebih lanjut warga menjadi semakin permisif dengan berbagai hal yang menyangkut nilai-nilai yang selama ini tidak layak bagi anak. Kerentanan sosial juga berawal dari semakin permisifnya atau semakin longgarnya nilai-nilai agama, adat istiadat, budaya dan tata karma sosial dari para orang tua dan masyarakat terhadap berbagai kebiasaan yang selama ini tidak layak dihadapi atau dilakukan oleh anak. Pengaruh lingkungan sosial yang permisif ini sangat mempengaruhi kesejahteraan dan perlindungan anak.Akibatnya, warga masyarakat dalam berinteraksi dengan sesama lebih didasarkan kepada kepentingan dan bukan tumbuh sebagaimana yang selama ini hidup dalam sebuah masyarakat yang komunal.

Relasi sosial didasarkan pada solidaritas mekanik, dia ada karena adanya kepentingan dari warga yang berelasi. Oleh karena itu dengan merenggangnya nilai-nilai kebersamaan menyebabkan masing-masing warga lebih terfokus kepada kehidupan masing-masing, tidak saling mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi pada warga lain bahkan tidak saling tegur.
10.  
Sarana dan Prasarana

Pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi di perkotaan menuntut adanya perencanaan pengembangan kabupaten/kota yang lebih cermat, baik secara fisik maupun non fisik. Kenyataan yang ada, secara fisik lahan di perkotaan sangat terbatas, sementara pemenuhan akan sarana dan prasarana yang layak merupakan hal yang menjadi kebutuhan penduduk kabupaten/kota. Fakta menunjukan kualitas pelayanan publik kepada anak di kabupaten/kota masih terbatas, khususnya bila ditinjau dari sisi sarana dan prasarana dasar, antara lain:

a.
beralih fungsinya ruang terbuka hijau menjadi ruang terbangun yang tidak berorientasi pada kepentingan anak;

b.
tidak seimbangnya sarana dan prasarana kabupaten/kota untuk kepentingan anak bila dibandingkan dengan jumlah penduduk; dan

c.
pembangunan sarana dan prasarana kabupaten/kota untuk kepentingan anak tidak merata, akibat dari perencanaan yang belum peduli anak dan perkembangan wilayah pemukiman baru yang tidak terkendali.

d.
sarana dan prasarana yang tersedia perawatannya, kualitasnya semakin menurun.

Anak, sebagai salah satu bagaian dari masyarakat kabupaten/kota, sering mengalami dampak dari penurunan daya dukung sarana dan prasarana kabupaten/kota, beberapa hal yang saat ini terlihat antara lain:

a.
minimnya sarana pendidikan, kesehatan, bermain, ruang terbuka hijau, transportasi yang murah, aman dan nyaman bagi anak;

b.
terbatasnya aksesibilitas anak terhadap sarana tersebut; dan

c.
polusi dan tingkat kebisingan kota yang berpengaruh terhadap kesehatan dan perkembangan jiwa anak.
11.  
Anak dan Pembangunan Lingkungannya


Orang dewasa pada umumnya berpendapat bahwa pembangunan yang cocok bagi dirinya, maka cocok pula bagi anak-anak, sehingga anak dipandang tidak penting untuk didengarkan pendapat dan aspirasinya dalam merencanakan dan menentukan arah pembangunan.

Sesungguhnya melalui wadah partisipasi anak, anak dapat diajak bekerjasama dalam mengatasi persoalan-persoalan yang berhubungan dengan (pembangunan) lingkungannya (Adams & Ingham, 1998:51). Pemerintah dapat berkomunikasi dengan mereka, karena mereka mempunyai persepsi, pandangan dan pengalaman mengenai lingkungan kota tempat mereka tinggal, sehingga pemerintah dapat menemukan kebutuhan atau aspirasi mereka.

1)
Anak dan Lingkungan Tempat Tinggal


Hal yang perlu dilakukan agar anak akrab dengan lingkungan tempat tinggalnya antara lain adalah:


a.
keluarga perlu melakukan penerapan kombinasi pola asuh antara otoriter, bebas dan demokratis secara seimbang dan konsisten, supaya kepercayaan diri anak tinggi.


b.
rumah yang layak huni adalah rumah yang menjamin keamanan, ketenangan dan kenyamanan penghuni. Syarat rumah layak huni adalah status kepemilikan jelas (milik sendiri, sewa, menumpang), kemudahan akses ke air bersih, listrik, adanya pengelolaan sampah dan perawatan saluran pembuangan air kotor. Selanjutnya, rumah itu berada di lingkungan yang bebas polusi dan memiliki standar ventilasi yang cukup.

2)
Anak dan Lingkungan Masyarakat


Pada lingkungan masyarakat, diharapkan anak dapat lebih menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat, untuk itu perlu dilakukan adalah:


a.
perlu ada inisiatif dan kemauan keras ketua RT dan RW untuk menjalankan organisasi dengan membentuk kegiatan-kegiatan yang berdampak langsung pada warga, khususnya anak-anak, seperti kerja bakti (membersihkan sampah dan saluran pembuangan air kotor), dan siskamling. Tanpa inisiatif dan kemauan tersebut, warga kota, menurut Prof. Parsudi Suparlan (Suparlan, 1996:3-44) menjadi bercirikan individualisme tinggi. Warga kota dengan ciri ini sangat sukar untuk diajak bekerjasama;


b.
menjaga sanitasi lingkungan, karena berdampak langsung pada kesehatan lingkungan, terutama terhadap anak-anak yang rentan terhadap berbagai resiko yang ditimbulkan oleh lingkungan; dan


c.
untuk menjadikan lingkungan masyarakat sebagai tempat yang baik bagi anak untuk tumbuh dan kembang, pemerintah kota perlu melakukan perbaikan-perbaikan. Menurut Bartlett, anak-anak memahami apa yang menjadi kebutuhan mereka di lingkungannya. Anak-anak merekomendasikan dan memprioritaskan hal-hal penting yang perlu mendapat perhatian dari orang dewasa, assosiasi masyarakat dan pemerintah kota.
Untuk memperbaiki masyarakat mereka. Perlu ada perbaikan, perawatan dan pembaharuan terhadap saluran air, toilet yang tidak bau, bebas bau sampah; tempat bermain dan rekreasi yang terang, bersama anak menentukan lokasi yang sesuai untuk tempat bermain yang dekat dengan rumah dan sekolah; dan perlu melakukan pengamanan yang ekstra di lingkungan yang pendapatan rendah, dan memasang pengumuman tentang pemberian perlindungan terhadap anak dari pembunuhan, kekerasan dan abuse.

3)
Anak dan Lingkungan Sekolah


Lingkungan sekolah yang diharapkan anak adalah sebagai berikut:


a.
mempunyai ruang WC yang menjadi salah satu fasilitas yang penting di sekolah, sehingga perlu dipertimbangkan keberadaan dan kebutuhannya. Anak-anak keberatan jika ruang WC anak perempuan dan anak laki-laki disatukan. Dengan demikian akan melindungi anak-anak perempuan dari pelecehan seksual;


b.
desain bangunan sekolah bertingkat perlu dilengkapi ruang bermain bagi anak yang aman dan nyaman di setiap lantai;


c.
waktu sekolah pagi dan petang dipertimbangkan untuk diterapkan secara bergantian, karena sangat berpengaruh pada proses belajar mengajar dan kualitas murid. Sebagian besar murid-murid sekolah petang kurang optimal mengikuti pelajaran, karena energi yang berkurang dan udara panas mempengaruhi daya serap anak terhadap pelajaran;


d.
perlu menggunakan metode Cara Belajar Siswa Aktif atau metode lain yang memberi kesempatan anak untuk berdiskusi, perlu diterapkan agar anak-anak terlatih mengemukakan pendapat atau gagasannya;


e.
penyusunan peraturan dan tata tertib sekolah, pimpinan sekolah dan guru perlu mengikutsertakan murid-murid, sehingga memiliki legitimasi yang kuat saat diterapkan dan ditegakkan. Kegiatan ini melatih anak-anak mengenai kehidupan berdemokrasi yang saling mendengar, dan menghargai pendapat orang lain; Anak memiliki potensi dalam menyusun peraturan dan tata tertib yang menyangkut kehidupan sendiri; contoh, melalui bermain mereka menyusun peraturan yang disepakati dan dijalankan bersama, dan jika ada yang melanggar, jelas ada sanksinya. Contoh lain adalah pembagian tugas piket kebersihan yang mereka susun bersama ketua kelas, dijalankan secara bersama-sama; dan


f.
mempunyai “program makan di sekolah”, karena anak banyak mendapatkan keuntungan yang dapat diperoleh dari program tersebut, selain mengembalikan energi anak yang terpakai selama belajar, juga dapat meningkatkan gizi anak, yang mungkin di rumah kurang memperoleh asupan makan yang bergizi. Kegiatan tersebut menjadi ajang anak-anak saling bersosialisasi baik dengan teman sekelas atau lain kelas. Di Indonesia, program ini pernah dilaksanakan melalui program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah, tetapi dihentikan sejalan dengan berakhirnya program Jaring Pengaman Sosial. Program makan di sekolah semacam itu juga dilaksanakan oleh sekolah-sekolah seperti di Jepang dan Malaysia.


g.
Adanya program sekolah ramah anak

4)
Anak dan Lingkungan Bermain


Pemerintah perlu mempelajari cara anak memenuhi hasratnya mendapatkan tempat bermain dengan mengikuti cara anak, dan bersedia bekerjasama dengan anak untuk menata ruang yang ada. Menurut Hendricks (Hendricks: 2002:14) perencanaan taman bermain yang ramah terhadap anak harus mempertimbangkan hasil konsultasi dengan anak, seperti bagaimana mereka menggunakan ruang dan apa yang mereka ingin lakukan, sehingga dalam proses pengembangannya tidak perlu melakukan pengekangan terhadap anak. Proses konsultasi dengan anak harus dilakukan dengan baik seperti yang dilakukan terhadap orang dewasa. Di beberapa negara seperti Inggris, Belgia dan Belanda, telah banyak contoh konsultasi yang dilakukan dengan anak mengenai tempat bermain (Hendricks: 2002:14).


Topik penting yang perlu diperhatikan oleh perencana dan perancang ketika melakukan diskusi dengan anak mengenai pembangunan taman bermain adalah masalah keselamatan anak.


Ada dua persoalan yang terkait dengan keselamatan anak:


a.
dibutuhkan tindakan pencegahan dan tenaga profesional yang berpengalaman untuk menjamin bahwa ruangan terbebas dari hal-hal berbahaya yang bisa menyebabkan anak-anak mendapatkan luka serius; dan


b.
orang dewasa, khususnya orang-tua anak dan pengawas tempat bermain diduga juga berpotensi untuk membahayakan keselamatan anak dan membuat anak takut. Persoalan ini menyangkut kasus child abuse.


Selain itu, perencana dan perancang perlu mempertimbangkan pengamanan dan pengawasan terhadap anak. Menurut Sheridan Bartlett, dengan mempertimbangkan pengamanan dan pengawasan terhadap tempat bermain anak, sehingga memungkinkan mereka merasa tenang dan nyaman. Pemerintah kota perlu mempertimbangkan pengamanan dan pengawasan di tempat bermain; meningkatkan keselamatan anak di tempat bermain; dan termasuk melakukan kampanye terhadap larangan penggunaan bahan berbahaya pada alat-alat permainan.

5)
Anak dan Pelayanan Transportasi


Pemerintah kota agar menyediakan layanan transportasi yang mempertimbangkan kebutuhan anak. Selain itu pemerintah kota dalam membuat kebijakan mengenai transportasi umum, menurut Jill Swart Kruger dan Louise Chawla (Kruger, 2002:85) perlu:


a.
memperkenalkan jarak, jenis dan ukuran transportasi umum;


b.
mempertimbangkan pembuatan tiket tunggal untuk semua jenis transportasi umum; dan


c.
mempertimbangkan penggunaan bus khusus pada hari minggu dan libur untuk anak dan keluarganya ke tempat rekreasi.

6)
Anak dan Pelayanan Kesehatan


Informasi mengenai kesehatan anak merupakan hal yang perlu diketahui oleh seorang anak, supaya mereka mengetahui sumber penyakit, jenis penyakit dan upaya pencegahannya. Melalui pemberian informasi kesehatan, seorang anak secara bertahap belajar memahami mengapa seorang anak bisa sakit, dan bagaimana mencegahnya Hasil belajar anak mengenai kesehatan anak, menghasilkan persepsi anak mengenai kesehatan anak.


Kehidupan anak berpusat pada rumah, sekolah dan lingkungan sekitarnya. Karena itu, wilayah tersebut harus menjadi tempat yang aman dan sehat bagi anak. Kenyataan, tak jarang tempat-tempat itu tidak aman bahkan menjadi penyebab timbulnya penyakit bagi anak. Menurut WHO, sebagian besar penyakit anak-anak berhubungan erat dengan lingkungan tempat mereka tinggal (rumah), belajar (sekolah) dan bermain (masyarakat) (WHO, 2002:7). Resiko utama ditimbulkan oleh lingkungan seperti air yang kurang bersih, sanitasi buruk, polusi udara, dan higiene makanan yang buruk. Resiko lainnya ditimbulkan oleh serangga yang menjadi perantara bibit penyakit; sedangkan tanah dan air merupakan perantara infeksi cacing. Bahaya lain adalah kecelakaan dan kekerasan. Selain itu, permukiman yang padat, ventilasi yang buruk, dan kurang air bersih untuk mencuci, mempercepat penyebaran berbagai penyakit (UNICEF & UNEP, 1990:25). Bagi masyarakat perkotaan, resiko juga ditimbulkan dari kekurang hati-hatian dalam menggunakan bahan kimia yang berbahaya, pembuangan sampah toxic dan degradasi lingkungan. Pemakaian zat kimia yang tidak aman untuk produk rumah tangga dan alat permainan anak seperti boneka, bisa pula menjadi sebuah ancaman.


Upaya kesehatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko lingkungan terhadap kesehatan anak dan warga kota lainnya menurut Jorge E. Hardoy, dkk. Penulis buku “Environmental Problems in an Urbanizing World: Finding Solution for Cities in Africa, Asia, dan Latin America,” adalah pencegahan penyakit yang disebabkan oleh resiko lingkungan. Tindakannya dapat dilakukan di dua tingkatan yakni rumah tangga dan masyarakat. Tingkat rumah tangga yang dapat dilakukan dengan:


a.
menyediakan air bersih;


b.
tempat penampungan/tanki air selalu dibersihkan untuk menjaga higiene;


c.
menyediakan fasilitas WC yang bersih;


d.
mengatur pembuangan sampah dan air buangan; dan


e.
melakukan kampanye dengan menyebarkan poster atau leaflet tentang desain kompor dan dapur.


Sedangkan tindakan di masyarakat hampir sama dengan tindakan di rumah tangga, tetapi sifatnya lebih ditingkatkan pada pengawasan dan penyediaan fasilitas yang tidak tersedia di tingkat rumah tangga seperti sumur umum dan MCK.

7)
Anak dan Masalah Sosialnya


a. Anak yang Berhadapan Dengan Hukum



Berdasarkan hasil analisis situasi, dalam sistem peradilan anak di Indonesia ditemukan lebih dari 4.000 anak dibawa ke pengadilan setiap tahunnya. Sebagian besar pelanggaran yang dilakukan adalah kejahatan ringan dengan jumlah kerugian yang sedikit. Tetapi hampir 9 dari 10 anak tersebut berakhir dipenahanan atau penjara anak, dan sebagian besar harus tinggal bersama/dicampur dengan orang-orang dewasa (Sumber: Media Perlindungan Anak Konflik Hukum, RESTORASI, edisi 9-IV/2008).



Anak yang berkonflik dengan hukum sebanyak 4.277 anak < 16 tahun sedang menjalani proses pengadilan, anak yang dipenjara sebanyak 13.242 anak dengan variasi usia antara 16-18 tahun, 98% diantaranya adalah anak laki-laki dan 83% yang menjalani pengadilan di hukum penjara, jumlah anak di penjara usia < 18 tertinggi di Jakarta, Jabar, Jatim. Sumsel (Sumber: Bareskrim, Polri).



Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM, tahun 2008 menunjukkan bahwa penghuni Lapas, Rutan dan anak binaan sebanyak 127.995 orang yang terdiri dari narapidana (73.686 orang) dan tahanan (54.309 orang). Dari jumlah tersebut sebanyak 121.845 pria dan 6.150 wanita. Sedangkan jumlah narapidana dan tahanan anak sebanyak 4.301 (3.36%) dengan rincian jumlah narapidana anak 2.282 (Laki-laki 2.161; Perempuan 121).  Tahanan anak sebanyak 2.019 orang (Laki-laki 1.838; Perempuan 181).  Anak-anak tersebut ditempatkan di 20 lapas anak pria dan 1 lapas anak wanita.



Perlindungan anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, menjamin terpenuhinya hak anak sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Berdasar atas Pasal 64 Undang-Undang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa pemerintah dan masyarakat berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus yang salah satunya adalah perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum, baik yang berkonflik dengan hukum maupun anak korban tindak pidana.



Perlindungan khusus bagi Anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan antara lain melalui perlakuan atas anak secara manusiawi, sesuai dengan martabat dan haknya, penyediaan petugas pendamping khusus sejak dini, penyediaan sarana dan prasarana khusus, penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak, pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum, pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarganya, dan perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media masa serta untuk menghindari labelisasi.


b. Kekerasan Terhadap Anak



Anak rentan menjadi obyek kekerasan, eksploitasi dan perlakuan salah.



Banyak kasus yang menjadikan anak sebagai korban kekerasan baik secara seksual, fisik, psikis, maupun penelantaran, selain itu, ada juga kekerasan yang diakibatkan oleh kondisi sosial-ekonomi. Anak dianggap sebagai komoditas, tenaga kerja murah, diperdagangkan, dilacurkan, dan terjerat dalam sindikat pengedar narkoba, atau yang dipaksa berada di jalanan karena berbagai sebab.



Sementara itu, penculikan terhadap anak-anak terjadi diberbagai tempat mulai dari dijemput di sekolah, anak sedang bermain, anak sedang berekreasi, dan sedang berada dalam rumah dengan berbagai modus operandi.



Hasil penelitian yang dilakukan oleh UNICEF menunjukkan bahwa “Dua per tiga anak laki-laki dan sepertiga anak perempuan pernah dipukul. Lebih dari seperempat anak perempuan mengalami perkosaan.” Pada tahun 2003 yang melibatkan sekitar 1.700 anak, terungkap bahwa “Sebagian besar anak mengaku pernah ditampar, dipukul, atau dilempar dengan benda.”



Awal 2006, terungkap kekerasan terhadap anak di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. Di Jawa Tengah, sebanyak 80 persen guru pernah menghukum anak-anak dengan berteriak di depan kelas. Sebanyak 55 persen guru pernah menyuruh murid berdiri di depan kelas. Di Sulawesi Selatan, sebanyak 90 persen guru pernah menyuruh murid berdiri di depan kelas, 73 persen pernah berteriak kepada murid, dan 54 persen pernah menyuruh murid untuk membersihkan atau mengelap toilet. Di Sumatera Utara, lebih dari 90 persen guru pernah menyuruh murid berdiri di depan kelas, dan 80 persen pernah berteriak pada murid.



Fakta-fakta di atas memperlihatkan bahwa potensi terjadinya kekerasan berada disekitar kehidupan anak. Tidak tempat yang membuat anak terbebas dari ancaman kekerasan dan eksploitasi. Kekerasan dan eksploitasi terhadap anak akan melahirkan sederet penderitaan yang berkepanjangan yang tertanam dalam benak anak baik secara fisik maupun psikis.



Sebagian besar dari pelaku tindak kekerasan, ternyata dilakukan oleh orang-orang terdekat korban, bahkan oleh orang tua sendiri, baik ibu maupun bapak. Statistik menunjukkan bahwa, ternyata pelaku tindak kekerasan terhadap anak dilakukan oleh lebih 80 % pelaku yang dikenal korban. Hal ini sesuai dengan apa yang dilansir oleh Komnas Perlindungan Anak bahwa, lebih dari 69 % pelaku tindak kekerasan terhadap anak adalah orang yang dikenal baik oleh korban. Kenyataan ini setidaknya mengindikasikan bahwa pada sebagian keluarga, rumah yang seharusnya menjadi tempat yang paling aman bagi anak, kini bukan lagi merupakan tempat yang aman dan nyaman bagi anak, karena justru di rumah sering terjadi tindak kekerasaan terhadap anak.


c. Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus



a) Anak di Lokasi Bencana



Anak di lokasi bencana menjadi sangat rentan karena mereka memerlukan bantuan orang dewasa untuk: menyelamatkan diri, mendapatkan pertolongan medis, shelter; dan kebutuhan emergensi lainnya; rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.



Antisipasi perlindungan anak di lokasi bencana harus disiapkan sebelum bencana terjadi. Saat ini sebagian besar anak tidak mengetahui kemana dan bagaimana memperoleh bantuan bila bencana datang.



Lingkungan yang layak anak akan memperhitungkan dengan cermat hal-hal semacam itu, termasuk antisipasi anak-anak menjadi korban perdagangan orang.



Anak merupakan kelompok yang mendapat proritas sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 55 ayat (2).



b). Anak di Daerah Konflik Bersenjata



Di daerah konflik bersenjata umumnya anak-anak dimanfaatkan oleh kelompok yang sedang berkonflik untuk menjadi kurir, benteng manusia dan tentara anak, biasanya yang memiliki badan besar walaupun usianya masih belasan tahun.



Selain bertentangan dengan undang-undang, hal tersebut secara psikologis berdampak buruk pada anak, menimbulkan trauma yang sangat panjang dan bisa jadi seumur hidupnya. Menyuburkan tumbuhnya budaya kekerasan dari dan pada anak. Pelecehan seksual, perkosaan dan pedofilia, merupakan bentuk kekerasan yang sangat ditakuti anak-anak.



Strategi pembangunan yang peduli anak di daerah konflik dapat mengurangi berbagai resiko fatal tersebut.



c) Anak Cacat



Kondisi anak cacat relatif telah mendapat perhatian dengan didirikannya berbagai panti dan pusat rehabilitasi, khususnya di perkotaan.



Namun akses anak cacat terhadap fasilitas umum masih memprihatinkan, misalnya; tidak semua gedung, pasar, pusat perbelanjaan, stasiun, terminal dan pelabuhan dilengkapi dengan akses bagi anak cacat secara memadai.



Dalam kehidupan sosialpun anak-anak cacat diperlakukan sebagai warga Negara kelas dua atau kelas tiga. Terlihat jelas adanya diskriminasi pada anak cacat.



Undang-Undang mengamanatkan agar negara memberikan perlindungan khusus pada anak cacat. Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 6 huruf b disebutkan bahwa anak penyandang cacat mempunyai hak yang san antuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.



d) Anak Jalanan



Anak jalanan identik dengan masalah anak di perkotaan, masalah ini semakin kompleks karena bukan saja faktor kemiskinan yang menyebabkan anak menjadi anak jalanan, selain itu faktor sosial budaya juga mempengaruhi.



Anak jalanan menghadapi resiko yang lebih besar menjadi obyek eksploitasi, kekerasan dan pelecehan seksual, kehidupannya sangat rentan terhadap narkoba, premanisme dan kejahatan lainnya.

8)
Kekuatan, Peluang dan Tantangan


a.
Kekuatan



a)
Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA) dan Rativikasi KHA.




Adanya UU PA dan rativikasi konvensi hak anak merupakan kekuatan yang dapat dijadikan sebagai faktor pendorong pelaksanaan kebijakan KLA.



b)
Peraturan Daerah




Beberapa daerah telah memiliki peraturan daerah yang mendukung, secara langsung maupun tidak, terhadap upaya perlindungan anak. Hal ini merupakan indikasi yang positif terhadap pelaksanaan kebijakan KLA



c)
Renstra Kesejahteraan dan Perlindungan Anak




Isu kesejahteraan dan perlindungan anak telah masuk dalam rencana strategis Kemeterian Negara Pemberdayaan Perempuan RI sehingga pelaksanaan kebijakan KLA mendapat kepastian dari sisi prioritas dan keberlanjutannya.


b.
Peluang



a)
Pengetahuan masyarakat meningkat




Semaraknya jumlah lembaga-lembaga sosial yang bergerak di bidang pendidikan anak, seperti pendidikan anak usia dini (PAUD), Taman Kanak-Kanak, Kelompok bermain  merupakan indikasi meningkatnya kesadaran masyarakat di bidang perlindungan anak.



b)
Dukungan lembaga internasional kuat.




Dukungan internasional, baik lembaga PBB maupun Internasional NGO di bidang anak, telah memberikan dukungan kepada Pemerintah Indonesia.



c)
Jumlah ahli di bidang anak meningkat.




Semakin banyaknya jumlah ahli di bidang perlindungan anak, semakin terbuka peluang bagi pelaksanaan kebijakan KLA yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah kabupaten/kota.


c.
Hambatan



a)
Kemauan politik terbatas




Isu anak belum menjadi prioritas dari partai politik, pembuatan dan pengambil kebijakan. Hal ini dikarenakan isu anak kurang laku di jual, bila dibandingkan dengan isu ekonomi dan politik itu sendiri, misalnya pilkada, pemekaran daerah.



b)
Belum tersosialisasinya konvensi dan peraturan perundang-undang di bidang anak




Rendahnya frekuensi sosialisasi konvensi dan peraturan perundang-undangan di bidang anak menyebabkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya perlindungan dan pemenuhan hak terbatas.


d.
Ancaman



a)
Kondisi sosial ekonomi yang belum kondusif




Kebijakan KLA merupakan implementasi dari perlindungan anak, jika kondisi sosial ekonomi tidak kondusif seperti kemiskinan, krisis energi, maka pelanggaran terhadap hak anak meningkat, misalnya anak putus sekolah, meningkatnya jumlah anak bekerja, selain itu kekerasan terhadap anak meningkat.



b)
Adanya resistensi budaya




Hingga saat ini masih banyak dijumpai adanya kebiasaan mendidik anak dengan cara kekerasan, terutama pada pendidikan informal, seperti semboyan “ada mutiara di ujung rotan’ pada pendidikan keagamaan; mendisiplinkan anak dengan cara mengurung di kamar mandi bila ada pelanggaran.
12.  
STRATEGI

Menumbuhkan dan memaksimalkan peran kepemimpinan kabupaten/kota dalam memenuhi hak anak.

Mengembangkan pendidikan dan kesadaran publik mengenai visi baru tentang anak.

Mengembangkan kebijakan pemenuhan hak anak yang komprehensif.

Melakukan analisis situasi anak secara berkelanjutan untuk advokasi, perencanaan, monitoring dan evaluasi.

Membuat laporan tahunan kabupaten/kota tentang anak.

Membangun kemitraan dan memperluas aliansi untuk anak.

Memberdayakan keluarga melalui kelembagaan dan program pembangunan masyarakat.

Memperkuat jaringan untuk pemantauan pelaksanaan perlindungan anak dalam situasi khusus.

Memperkuat peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan penegakan hukum.

Memberikan penghargaan kepada pimpinan daerah yang berhasil dalam melaksanakan kebijakan KLA.

13.  
INDIKATOR KEBERHASILAN

a. Prinsip Kota Layak Anak

Empat prinsip kunci Konvensi Hak Anak yang menjadi dasar membangun KLA:

1)     
Non-diskriminasi;
Pelaksanaan dan pengembangan kebijakan KLA dilaksanakan dalam rangka perlindungan anak tanpa membedakan suku, ras, agama, jenis kelamin, status social, asal daerah, kondisi pisik maupun psikis anak.

2)     
Kepentingan yang terbaik bagi anak;
Menjadikan kepentingan yang terbaik bagi anak sebagai pertimbangan utama dalam setiap pengambilan keputusan yang dilakukan oleh, pemerintah, badan legislatif, badan yudikatif dan lembaga lainnya yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan anak.

3)     
Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan;
Perlindungan hak asasi anak sebagai hak yang paling mendasar dalam kehidupan anak yang perlu dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.

4)     
Penghargaan terhadap pendapat anak.
Penghormatan atas hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam penambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupan anak.

b. Pra-syarat Kota Layak Anak

Pra-syarat pengembangan KLA adalah:

1)     
Adanya Kemauan dan komitmen pimpinan daerah: membangun dan memaksimalkan kepemimpinan daerah dalam mempercepat pemenuhan hak dan perlindungan anak yang dicerminkan dalam dokumen peraturan daerah.

2)     
Baseline data: tersedia sistem data dan data dasar yang digunakan untuk perencanaan, penyusunan program, pemantauan dan evaluasi.

3)     
Sosialisasi hak anak: menjamin adanya proses penyadaran hak anak pada anak dan orang dewasa secara terus menerus.

4)     
Produk hukum yang ramah anak: tersusunnya peraturan perundangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan hak anak.

5)     
Partisipasi anak: tersedia wadah untuk mempromosikan kegiatan yang melibatkan anak dalam program-program yang akan mempengaruhi mereka; mendengar pendapat mereka dan mempertimbangkannya dalam proses pengambilan keputusan.

6)     
Pemberdayaan keluarga: adanya program untuk memperkuat kemampuan keluarga dalam pengasuhan dan perawatan anak.

7)     
Kemitraan dan jaringan: adanya kemitraan dan jaringan dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak.

8)     
Institusi Perlindungan Anak: Adanya kelembagaan yang mengkoordinasikan semua upaya pemenuhan hak anak.

c. Langkah-Langkah Pengemangan Kebijakan KLA

1)
Pembentukan Gugus Tugas “KLA”


Gugus Tugas KLA merupakan lembaga koordinatif yang beranggotakan wakil dari unsur eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang membidangi anak, perguruan tinggi, organisasi non pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, sektor swasta, orang tua, dan anak.


Tugas Pokok Gugus Tugas KLA adalah:


a)   
Mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan dan pengembangan KLA;


b)   
Menetapkan tugas-tugas dari anggota Gugus Tugas;


c)   
Melakukan sosialisasi, advokasi, fasilitasi dan KIE konsep KLA;


d)  
Mengumpulkan data dasar;


e)   
Melakukan analisis kebutuhan yang bersumber dari data dasar;


f)    
Melakukan deseminasi data dasar;


g)   
Menentukan fokus dan prioritas program dalam mewujudkan KLA, yang disesuaikan dengan potensi daerah (masalah utama, kebutuhan, dan sumber daya);


h)   
Menyusun Rencana Aksi Daerah KLA (5 tahun) dan mekanisme kerja;


i)     
Menyiapkan Peraturan Daerah tentang Rencana Aksi Daerah KLA; dan


j)     
Melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan minimal 1 tahun sekali.

2)
Pengumpulan Data Dasar


Pengumpulan data dasar dimaksudkan untuk mengetahui kondisi obyektif awal sebuah kabupaten/kota sebagai dasar pertimbangan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pembangunan KLA. Pengumpulan data dasar dilakukan oleh lembaga yang memiliki kompetensi dan otoritas di daerah yaitu Badan Pusat Statistik Kabupaten/Kota.

3)
Penentuan Fokus dan Prioritas Program


Memperhatikan hasil analisis data dasar, permasalahan dan potensi kabupaten/kota ditentukan fokus dan prioritas program dalam mewujudkan KLA. Program ini dimaksudkan supaya setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), pemangku kepentingan di bidang anak dan dunia usaha dapat berperan aktif sesuai dengan tugas dan fungsinya.

4)
Rencana Aksi Daerah (RAD) KLA


Untuk mempercepat pelaksanaan Program KLA secara terfokus dan berdasarkan prioritas diperlukan adanya pembagian peran dan fungsi dari setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah, pemangku kepentingan di bidang anak dan dunia usaha diuraikan secara sistematis, terstruktur dan terukur dalam RAD KLA.


Untuk memperkuat kedudukan Rencana Aksi Daerah KLA ditetapkan melalui Keputusan Bupati/Walikota dan atau Peraturan Daerah.


Rencana Aksi Daerah KLA meliputi substansi pokok perlindungan anak yang meliputi:


a.
telaah kebutuhan atau need assessment KLA;


b.
harmonisasi kebijakan perlindungan anak;


c.
pelayanan dasar, rujukan, penyelidikan epidemiologi, penanggulangan KLB dan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan;


d.
pelayanan pendidikan dasar, menengah umum dan kejuruan, formal dan informal;


e.
perlindungan anak di bidang hak sipil dan partisipasi, program bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus;


f.
pelayanan bidang perunahan, sarana dan prasarana lingkungan dan pelayanan fasilitas umum;


g
pelayanan lingkungan hidup, kebutuhan dasar sanitasi dan penanganan akibatnya.


Format RAD KLA dapat disesuaikan dengan matriks RAD dalam lampiranod.

5)
Monitoring dan Evaluasi


a.
Monitoring dilakukan sejak awal proses perencanaan sampai dengan pelaksanaan RAD KLA yang dilaksanakan di tingkat kabupaten/kota.


b.
Evaluasi dilakukan secara periodik untuk melihat kemajuan pembangunan KLA yang telah dicapai dalam kurun waktu satu tahun sebagai masukan bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan periode berikutnya dan sebagai bahan laporan.


c.
Laporan hasil monitoring dan evaluasi KLA diberikan kepada Bupati/Walikota dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan sebagai wakil Pemerintah yang menjadi koordinator di bidang kesejahteraan dan perlindungan anak.