Strategi Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA)
A. Pengertian PUHA
Dalam upaya
meningkatkan pembangunan yang berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak,
perlu dikembangkan strategi PUHA dengan maksud menjadikan pemenuhan dan
perlindungan hak anak sebagai pertimbangan utama dari para pengambil keputusan
perencanaan pembangunan di nasional, propinsi dan kabupaten/kota.
Istilah
pengarusutamaan terinspirasi dari Pengarusutamaan Gender (PUG) yang merupakan
upaya mengakselerasi terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender dalam semua
bidang. Karena itu, dalam membuat definisi PUHA-pun perlu menilik apa yang
dimaksud dengan PUG. Definisi PUG yang banyak diacu berasal dari versi United Nations Economic and Social Council
(1997) yakni : “Mengarusutamakan perspektif gender adalah proses memeriksa
pengaruh terhadap perempuan dan laki-laki setelah dilaksanakannya sebuah
rencana, termasuk legislasi dan program-program, dalam berbagai bidang dan di
semua tingkat. Ia adalah sebuah strategi untuk membuat masalah dan pengalaman
perempuan maupun laki-laki menjadi bagian yang menyatu dengan rencana,
pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian kebijakan program dalam semua aspek
politik, ekonomi, dan sosial, supaya perempuan dan laki-laki sama-sama
mendapatkan manfaatnya dan ketidaksetaraan tidak berlanjut. Tujuan akhirnya
adalah kesetaraan gender”. (Sinta R. Dewi, Gender Mainstreaming : Feminisme,
Gender, dan Transformasi Institusi, Jurnal Perempuan No. 50, 2006 hal. 13).
Mengacu pada
definisi tersebut, kita dapat memperolah gambaran yang jelas tentang apa yang
dimaksud dengan “pengarusutamaan”. Pengarusutamaan merupakan suatu stratagi
untuk mencapai tujuan. Sedangkan cakupan pengarusutamaan cukup luas yakni
mencakup semua bidang, semua tingkat dan semua aspek manajemen (perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan dan penilaian).
Strategi PUHA
merupakan salah satu strategi yang telah dimasukan dalam RPJMN 2004-2009.
Strategi PUHA diartikan sebagai strategi yang dilakukan secara rasional dan
sistematis untuk mencapai perlindungan dan tumbuh kembang anak melalui
pengintegrasian hak-hak anak ke dalam penyusunan peraturan perundang-undangan,
kebijakan, program, kegiatan dan anggaran, mulai dari tahap perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dengan prinsip kepentingan
terbaik bagi anak. PUHA dijadikan sebagai batasan dan pijakan dalam menyusun suatu
kebijakan dan program.
Strategi PUHA
mencakup tiga tataran yakni makro, meso dan mikro. Tataran makro adalah
perundangan dan kebijakan strategis. Perencanaan dalam program jangka pendek,
menengah dan panjang merupakan tataran meso. Pada tataran mikro mencakup kegiatan-kegiatan dan anggaran yang berpihak
pada anak.
PUHA sebagai
strategi untuk mencapai perlindungan dan tumbuh kembang anak harus dapat
membuktikan bahwa aspek perlindungan dan tumbuh kembang anak benar-benar
tercermin dan terpadu dalam empat fungsi utama manajemen program, yaitu :
1.
Perencanaan : menyusun
pernyataan atau tujuan yang jelas bagi perlindungan dan tumbuh kembang anak;
2.
Pelaksanaan :
memastikan bahwa strategi yang dijelaskan mempunyai dampak pada anak;
3.
Pemantauan : mengukur
kemajuan dalam pelaksanaan program dalam hal partisipasi dan manfaat bagi anak;
4.
Penilaian : memastikan
bahwa anak benar-benar menjadi terlindungi sebagai hasil prakarsa tersebut.
B. Komponen Pemenuhan Hak Anak
Pelaksanaan
PUHA sebagai strategi pemenuhan dan perlindungan hak anak harus memperhatikan
keterkaitan tiga komponen pemenuhan hak anak yakni 1) kebijakan pembangunan; 2)
kegiatan perwujudan hak anak; dan 3) keterlibatan dari para pemangku
kepentingan.
1. kebijakan
pembangunan
Upaya pengembangan kebijakan dibuat untuk
mendorong dan melindungi upaya pemenuhan hak anak. Kebijakan publik seyogyanya
sensitive terhadap anak, dan mempunyai manfaat positif bagi nasib anak.
Misalnya :
- sudah adakah kode
etik (code of conduct) yang terkait dengan penegakan hak anak di
lingkungan bekerja ?
- Berapa besar
(persentase) anggaran yang dialokasikan bagi program untuk kepentingan terbaik
bagi anak, termasuk kegiatan yang mendorong strategi PUHA itu sendiri ?
2. kegiatan perwujudan
hak anak
Komponen pemenuhan
hak anak merupakan wujud dari berbagai kegiatan sebagai upaya untuk
menghilangkan kesenjangan (affirmative actions).
Manfaat bagi anak
selayaknya dipastikan dalam setiap program pembangunan berdasarkan kepentingan
terbaik anak dalam menikmati hak mereka.
Besaran masalah
anak menjadi kunci bagi setiap proses pembangunan. Dengan demikian peningkatan
pemahaman dan perhatian berbagai pihak terhadap besaran masalah anak perlu
menjadi perhatian dalam proses pembangunan dengan cara mengetengahkan data yang
dapat dipertanggungjawabkan.
3. Keterlibatan
pemangku kepentingan
Pemangku
kepentingan (pengambil keputusan, baik eksekutif dan legislatief serta
masyarakat sipil) harus memiliki pemahaman terhadap hak anak, khususnya yang
berkaitan dengan upaya pemenuhan dan perlindungan hak anak.
Pemangku
kepentingan diharapkan menjadi penggagas dan tokoh kunci dalam proses
perencanaan program pembangunan secara berkesinambungan.
Pemangku kepentingan harus memiliki
pengetahuan, sikap dan tindakan (Knowlegde, attitude, Practice/KAP) yang
peduli terhadap perwujudan hak anak. KAP yang wajib dimiliki oleh pemangku
kepentingan adalah pemahaman terhadap hak anak, khususnya yang berkaitan dengan
upaya pemenuhan dan perlindungan hak anak.
Upaya penguatan kapasitas pemangku
kepentingan tidak hanya untuk aparat pemerintah, tetapi termasuk juga pengasuh
anak (care givers) dan masyarakat (misalnya LSM peduli anak).
Kelompok pemerhati hak anak (Community Based Organization/CBO) perlu dikembangkan partisipasi
mereka untuk membantu memastikan efektivitas program pembangunan bagi pemenuhan
hak anak, sekaligus mendukung pelaksanaan dan melakukan monitoring dan
evaluasi.
Fokus PUHA tentu
saja adalah anak sebagai pemegang hak. Dalam hal ini anak harus didorong untuk
berperan aktif dalam memberikan masukan sepanjang proses penyusunan kebijakan,
program, kegiatan dan bahkan penganggaran. Anak hendaknya mendapatkan
fasilitasi bagi ketersediaan akses dan informasi yang layak sesuai dengan umur
dan kematangan anak. Anak juga harus diberikan keterampilan untuk menyalurkan
dan menyampaikan ekspresinya, sedemikian rupa sehingga didengarkan, dihargai,
dan dipertimbangkan oleh para pengambil keputusan.
Pemberdayaan dan
perlindungan terhadap kelompok anak sendiri perlu dilakukan sebagai konsekuensi
dari karakteristik anak itu sendiri sebagai kelompok yang rentan, tidak berdaya
dan masih memerlukan perlindungan dari orang dewasa. Jika anak harus
diberdayakan maka hal itu bukanlah dalam rangka untuk mensejajarkan status dan kedudukannya dihadapan orang
dewasa, tetapi lebih merupakan upaya perlindungan terhadap hak-haknya yang
sering dilanggar orang dewasa. Apalagi jika kelompok anak itu adalah kelompok
anak yang masuk kategori memerlukan perlindungan khusus (children in need
special protection/cnsp), maka perlakuannyapun bersifat khusus.
Pemberdayaan pada
kelompok anak bertujuan agar anak memahami dan menyadari bahwa mereka memiliki
hak-hak yang harus dipenuhi dan diperjuangkan, baik oleh mereka sendiri maupun
melalui bantuan orang dewasa. Pemberdayaan ini lebih efektif jika ditujukan
pada kelompok-kelompok anak atau anak-anak yang sudah terorganisir dalam suatu
kelompok, dan bukan pemberdayaan pada orang perorang. Dengan demikian prasyarat
yang berupa kelompok atau organisasi anak menjadi hal yang sangat mendasar.
Oleh karena itu pembentukan kelompok-kelompok anak atau organisasi abak harus
didorong dan dikembangkan. Organisasi anak tersebut, apapun namanya, akan
berfungsi sebagai wadah penyalur aspirasi anggota mereka maupun anak-anak pada
umumnya.
C. Tahapan
PUHA
Proses PUHA selalu diawali dengan analisis
situasi anak, dilanjutkan dengan perencanaan program, pelaksanaan dan pemantauan, serta evaluasi
program. Setiap tahapan PUHA selalu mempertimbangkan empat prinsip hak anak.
1. Tahap
Analisis Situasi Anak
Tahap analisis
situasi anak dimaksudkan untuk menilai besaran masalah dan akar masalah dari
setiap isu anak berdasarkan situasi terakhir sehingga dapat dikembangkan
berbagai kebijakan dan program yang menjawab kebutuhan pemenuhan hak anak
dengan tepat sesuai target pemenuhan hak anak yang disepakati, baik secara
internasional, nasional maupun lokal.
Analisis situasi
anak dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.
2. Tahapan
perencanaan
Tahapan perencanaan
meliputi penentuan situasi anak yang akan dicapai (vision) berdasarkan pada
kesenjangan pemenuhan hak anak hasil analisis situasi anak pada tahap 1, dan
dilanjutkan dengan penentuan prioritas program pembangunan sebagai upaya
pemenuhan hak anak yang meliputi penentuan tujuan (outcomes) yang biasanya
berupa perubahan KAP, keluaran (outputs) yang mendorong pencapaian
outcomes, kegiatan sebagai proses untuk mengubah masukan menjadi keluaran yang
berkualitas, dan diakhir dengan pengembangan masukan.
Setiap perencanaan
dimulai dengan menentukan hak anak yang akan dipenuhi dari suatu kebijakan,
program atau kegiatan yang akan direncanakan.
3. Pelaksanaan
dan pemantauan
PUHA mensyaratkan
pelaksanaan program selalu mempertimbangkan 4 prinsip hak anak dan tidak
menempatkan anak pada posisi yang beresiko.
Situasi anak saat
program dikembangkan (baseline data) dan kondisi yang akan dicapai (vision)
merupakan informasi penting pada tahap ini.
Dalam tahap ini,
seperangkat indikator perlu dikembangkan sebagai dasar untuk melakukan tinjauan
terhadap keberhasilan program perwujudan hak anak.
Pengembangan
indikator berdasarkan hak anak akan membantu pelaksana program melakukan
tinjauan efektivitas program dan melakukan peningkatan kualitas sesuai
kebutuhan. Target capaian setiap indicator dapat menggunakan nilai yang telah
dikembangkan secara nasional dalam PNBAI. Namun setiap daerah dapat pula
mengembangkan target indikator sendiri sesuai dengan kemampuan dan kondisi
daerahnya masing-masing.
Keberhasilan
strategi PUHA sangat tergantung pada komitmen dan peranserta semua pihak dalam
rangka pemenuhan hak anak. Untuk menjamin keberhasilan harus dilakukan
pengawasan dan evaluasi secara bersama-sama agar apa yang menjadi tujuan
program perlindungan anak bisa tercapai dengan baik.
1.
Kebujakan
Kota Layak
Anak ...................(Bpk Wahyu)
BAHAN MASUKKAN UNTUK WORKSHOP PEMBANGUNAN KPA
DI TINGKAT PEMERINTAH PROVINSI
TAHUN 2009
1.
|
Dasar pemikiran
|
|||||
|
1.1
|
Situasi anak
|
||||
|
|
Anak merupakan potensi yang sangat penting, generasi penerus masa depan
bangsa, penentu kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang akan
menjadi pilar utama pembangunan nasional, sehingga perlu ditingkatkan
kualitasnya dan mendapatkan perlindungan secara sungguh-sungguh dari semua
elemen masyarakat.
|
||||
|
|
SDM yang berkualitas tidak dapat lahir secara alamiah, bila anak
dibiarkan tumbuh dan berkembang tanpa perlindungan, maka mereka akan menjadi
beban pembangunan karena akan menjadi generasi yang lemah, tidak produktif
dan tidak kreatif, sedangkan jumlah mereka lebih dari sepertiga penduduk
Indonesia.
|
||||
|
|
Makanan dan pakaian saja belum cukup untuk menjadikan anak sebagai media
persemaian SDM yang berkualitas, kreatif, berdaya saing tinggi yang memiliki
jiwa nasionalisme dan pekerti luhur. Perlu adanya kesadaran yang tinggi dan
kemauan politik yang kuat untuk menciptakan lingkungan yang peduli dan
responsif terhadap kepentingan dan kebutuhan anak.
|
||||
|
|
Secara individu, jutaan anak menghadapi resiko busung lapar dan
ketidakcukupan nutrisi yang mengancam pertumbuhan dan masa depannya. Angka
kematian bayi 32 perseribu kelahiran hidup (2005), masih sangat tinggi.
Mereka menghadapi ketidakpastian untuk hal-hal mendasar yang seharusnya
menjadi hak mereka seperti kepemilikan akta kelahiran, akses terhadap
pendidikan yang terjangkau, terbebas dari perlakuan salah, kekerasan ekonomi,
seksual dan psikis.
|
||||
|
|
Secara sosial, anak-anak tidak berdaya menghadapi gelombang sajian iklan dan pemandangan kehidupan konsumerisme
yang sangat kapitalistik yang merugikan perkembangan jiwa anak-anak secara
langsung maupun tidak langsung.
|
||||
|
|
Misalnya saat ini terdapat 43 juta anak mejadi perokok pasif. Komnas
perlindungan anak melaporkan bahwa 99,7 persen anak-anak terpapar iklan
rokok, hasil survey Global Youth Tobacco Survey di Indonesia 12,6% siswa smp
adalah perokok, 3,2 % diantaranya tergolong kecanduan.
|
||||
|
|
Sejak tahun 2006 hingga saat ini rata-rata terdapat 2 sampai 4 anak
mengalami tindak kekerasan setiap hari. Lebih dari seperempat anak perempuan
mengalami perkosaan. Jumlah anak yang berkonflik
dengan hukum mencapai 4.277 anak, hal ini berarti setiap hari terdapat 11 s.d
12 anak berkonflik dengan hukum (Bareskrim Polri), sementara itu anak yang
hidup di penjara hingga saat ini mencapai 13.242 anak.
|
||||
|
|
Di sektor pendidikanpun anak-anak masih banyak
yang tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan. Angka partisipasi murni sekolah menengah pertama
sebesar 65,37% tahun 2005. Padahal seharusnya dengan program wajib belajar 9
tahun, semua anak Indonesia.
|
||||
|
|
Kota-kota di Indonesia, saat ini, mengalami pertumbuhan setiap tahun
rata-rata 4,4% (UNICEF, 2007: 123), akibat dari pertumbuhan penduduk dan
migrasi penduduk desa ke kota sehingga kota yang tidak terkendali. Akibatnya
penyediaan pelayanan dasar, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan peluang
untuk kerja semakin sulit.
|
||||
|
|
Jumlah penduduk dalam kategori anak, yaitu <18 tahun, saat ini
75.641.000 anak, jumlah anak yang berusia dibawah lima tahun 21.571.000 anak,
Mereka merupakan kelompok yang rentan mengalami berbagai masalah social
(UNICEF, 2007: 123), karena mereka selalu mengahadapi resiko kekerasan baik
di rumah, di sekolah, di tempat bermain, maupun ditempat-tempat umum seperti
tempat rekreasi, terminal, stasiun, tempat-tempat ibadah dll.
|
||||
|
|
Selain itu, ruang bermain anak belum tersedia dalam jumlah yang cukup
karena belum menjadi prioritas pembangunan pemerintah kabupaten/kota, belum
adanya rute yang aman bagi anak ke sekolah maupun ke tempat-tempat aktivitas
anak lainnya, yang ditandai dengan merebaknya berbagai kasus kekerasan
terhadap anak. Hal lain, masih terbatasnya kebijakan pemerintah untuk menyatukan
isu hak ke dalam perencanaan pembangunan kabupaten/kota, serta belum
teritegrasinya hak perlindungan anak ke dalam pembangunan kabupaten/kota.
|
||||
|
1.2.
|
Perlunya Kebijakan KLA
|
||||
|
|
Situasi anak tersebut memerlukan adanya
suatu kebijakan pembangunan kabupaten/kota yang mengintegrasikan sumberdaya
pembangunan untuk memenuhi hak anak mulai proses perencanaan, implementasi
hingga pengawasan dan penilaiannya, yaitu kebijakan pembangunan
kabupaten/kota layak anak (KLA).
|
||||
|
|
KLA diharapkan dapat menjadi model pembangunan
yang mewadahi seluruh kegiatan dan upaya untuk menciptakan keluarga yang
sayang anak, rukun tetangga dan rukun warga atau lingkungan yang peduli anak,
kelurahan dan desa layak anak dan kecamatan atau kabupaten/kota yang layak
bagi anak sebagai prasyarat untuk memastikan bahwa anak-anak tumbuh dan
berkembang dengan baik, terlindungi haknya dan terpenuhi kebutuhan pisik dan
psikologisnya.
|
||||
|
|
|
||||
2.
|
Maksud dan Tujuan
|
|||||
|
2.1
|
Maksud
|
||||
|
|
Untuk membangun inisiatif pemerintahan
kabupaten/kota yang mengarah pada upaya transformasi Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hak Anak dari kerangka hukum ke dalam definisi,
strategi, dan intervensi pembangunan seperti kebijakan, kelembagaan dan
program yang layak anak.
|
||||
|
2.2
|
Tujuan
|
||||
|
|
Tujuan kebijakan Kabupaten/Kota Layak
Anak adalah:
|
||||
|
|
a.
|
Untuk meningkatkan komitmen
pemerintah, masyarakat dan dunia usaha di kabupaten/kota dalam upaya
mewujudkan pembangunan yang responsif
terhadap hak, kebutuhan dan kepentingan terbaik bagi anak;
|
|||
|
|
b.
|
Untuk mengintegrasikan potensi sumber daya manusia, keuangan, sarana
prasarana, metoda dan teknologi yang ada pada pemerintah, masyarakat serta
dunia usaha di kabupaten/kota dalam mewujudkan hak anak;
|
|||
|
|
c.
|
Untuk mengimplementasi kebijakan perlindungan anak melalui perumusan
strategi dan perencanaan pembangunan kabupaten/kota secara menyeluruh dan
berkelanjutan sesuai dengan indikator KLA; dan
|
|||
|
|
d.
|
Untuk memperkuat peran dan kapasitas
pemerintah kabupaten/kota dalam mewujudkan pembangunan di bidang perlindungan
anak.
|
|||
|
|
|
|
|||
3.
|
Ruang Lingkup
|
|||||
|
Ruang lingkup Kebijakan KLA meliputi
pembangunan di bidang kesehatan, pendidikan, perlindungan, infrastruktur,
lingkungan hidup dan pariwisata baik secara langsung maupun tidak langsung
berhubungan dengan implementasi hak anak sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Perlindungan Anak.
|
|||||
|
Kebijakan KLA mencakup aspek ketemagaan,
pembiayaan, pengawasan dan penilaian, penelitian dan pengembangan serta
keterwakilan aspirasi dan kepentingan anak dalam pengambilan keputusan
pembangunan kabupaten/kota.
|
|||||
4.
|
Sasaran
|
|||||
|
4.1
|
Sasaran antara
|
||||
|
|
a.
|
Lembaga eksekutif.
|
|||
|
|
b.
|
Lembaga legislatif.
|
|||
|
|
c.
|
Lembaga yudikatif.
|
|||
|
|
d.
|
Organisasi non pemerintah.
|
|||
|
|
e.
|
Dunia usaha.
|
|||
|
|
f.
|
Masyarakat
|
|||
|
|
|
|
|||
|
4.2
|
Sasaran akhir
|
||||
|
|
a.
|
Keluarga.
|
|||
|
|
b.
|
Anak.
|
|||
5.
|
Pengertian
|
|||||
|
Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) adalah model pembangunan kabupaten/kota yang
mengintegrasikan komitmen dan sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia
usaha dalam rangka memenuhi hak anak yang terencana secara menyeluruh
(holistik) dan berkelanjutan (sustainable) melalui pengarusutamaan hak anak
(PUHA).
|
|||||
6.
|
Tinjauan Sejarah KLA
|
|||||
|
Pembangunan KLA diawali dengan penelitian mengenai “Children’s Perception
of the Environment” oleh Kevin Lynch (arsitek dari Massachusetts Institute of
Technology) di 4 kota – Melbourne, Warsawa, Salta, dan Mexico City – tahun
1971-1975. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa lingkungan kota yang terbaik untuk anak adalah yang mempunyai
masyarakat yang kuat secara fisik dan sosial; masyarakat yang mempunyai
aturan yang jelas dan tegas; yang memberi kesempatan pada anak; dan fasilitas
pendidikan yang memberi kesempatan anak untuk mempelajari dan menyelidiki
lingkungan dan dunia mereka. Penelitian tersebut dilakukan dalam
rangka program Growing Up In Cities (GUIC) – tumbuh kembang di perkotaan –
yang disponsori oleh UNESCO. Salah satu tujuan GUIC adalah mendokumentasikan
persepsi dan prioritas anak, sebagai basis program peran serta, bagi
perbaikan kota.
|
|||||
|
Pada perkembangan selanjutnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
mengadopsi Konvensi Hak Anak pada tahun 1989, dengan memasukan salah mengeluarkan
satu ketentuan mengenai hak anak untuk mengekspresikan pendapatnya. Ini
artinya anak mempunyai suara, disamping adanya prinsip lain seperti
non-diskriminasi; kepentingan terbaik untuk anak; dan hak untuk hidup dan
mengembangkan diri.
|
|||||
|
Pada KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992, para kepala pemerintahan dari
seluruh dunia menyepakati prinsip-prinsip Agenda 21 yaitu Program Aksi untuk
Pembangunan Berkelanjutan. Bab 25 Agenda 21 menyatakan bahwa, anak dan remaja
sebagai salah satu Major Group – Kelompok Utama – yang dilibatkan untuk
melindungi lingkungan dan kegiatan masyarakat yang sesuai dan berkelanjutan.
Bab 28 Agenda 21 juga menjadi rujukan bahwa, remaja berperan serta dalam
pengelolaan lingkungan. Akan tetapi yang paling mendesak adalah agar
pemerintah kota melibatkan warga dalam proses konsultasi untuk mencapai
konsensus pada “Agenda 21 Lokal,” dan mendorong pemerintah kota menjamin
bahwa anak dan remaja terlibat dalam proses pembuatan keputusan, perencanaan,
dan pelaksanaan.
|
|||||
|
Setelah 25 tahun, hasil penelitian Kevin
Lynch ditinjau kembali, dan dilakukan penelitian serupa oleh Dr Louise Chawla dari the Children and Environment Program of
the Norwegian Centre for Child Research – Trondheim, Norwegia tahun
1994-1995. Penelitian yang disponsori oleh UNESCO dan Child Watch
International, dilakukan di Buenos Aires dan Salta, Argentina; Melbourne, Australia; Northampton, Inggris; Bangalore, India; Trondheim, Norwegia; Warsawa,
Polandia; Johannesburg, Afrika
Selatan; dan Oaklands, California,
Amerika Serikat. Hasil penelitian ini menjadi indikator bagi UNICEF dalam
mengawasi pemenuhan hak anak di kota sebagai bagian dari Child Friendly City Initiative untuk pemerintah kota.
|
|||||
|
Pada Konferensi Habitat II atau City
Summit, di Istanbul, Turki tahun 1996, perwakilan pemerintah dari seluruh
dunia bertemu dan menandatangani Agenda Habitat, yakni sebuah Program Aksi
untuk Membuat Permukiman lebih nyaman untuk ditempati dan berkelanjutan.
Paragraf 13 dari pembukaan Agenda Habitat, secara khusus menegaskan bahwa
anak dan remaja harus mempunyai tempat tinggal yang layak; terlibat dalam
proses mengambilan keputusan, baik di kota maupun di masyarakat; terpenuhi
kebutuhan dan peran anak dalam bermain di masyarakatnya. Melalui City Summit itu, UNICEF dan UNHABITAT
memperkenalkan Child Friendly City
Initiative, terutama menyentuh anak kota, khususnya yang miskin dan yang
terpinggirkan dari pelayanan dasar dan perlindungan untuk menjamin hak dasar
mereka.
|
|||||
|
Pada UN Special Session on Children,
Mei 2002, para walikota menegaskan komitmen mereka untuk aktif menyuarakan
hak anak, pada pertemuan tersebut mereka juga merekomendasikan kepada
walikota seluruh dunia untuk:
|
|||||
|
a.
|
mengembangkan rencana aksi untuk kota mereka menjadi Kota Ramah dan
melindungi hak anak,
|
||||
|
b.
|
mempromosikan peran serta anak sebagai aktor perubah dalam proses
pembuatan keputusan di kota mereka terutama dalam proses pelaksanaan dan
evaluasi kebijakan pemerintah kota.
|
||||
|
Upaya UNICEF dan UNHABITAT ini terus menerus dipromosikan ke seluruh
dunia dengan upaya meningkatkan kemampuan penguasa lokal (UN Special Session on Children, 2002).
|
|||||
|
Pada World Summit on Sustainable
Development di Johannesburg, Afrika Selatan tahun 2002, para pemimpin
negara dari seluruh dunia antara lain menyepakati untuk mewujudkan perbaikan
yang signifikan pada kehidupan bagi sedikitnya 100 juta masyarakat penghuni
kawasan kumuh, seperti yang diusulkan dalam prakarsa “Kota tanpa Permukiman
Kumuh” (Cities without Slums) pada
tahun 2020. Hal ini mencakup tindakan pada semua tingkatan untuk:
|
|||||
|
a.
|
meningkatkan akses pada tanah dan properti, permukiman yang memadai
dengan pelayanan dasar bagi masyarakat miskin di perkotaan dengan perhatian
khusus pada kepala rumah tangga perempuan;
|
||||
|
b.
|
mendukung otoritas lokal dalam menjabarkan program perbaikan daerah kumuh
dalam kerangka rencana pengembangan perkotaan dan mempermudah akses,
khususnya bagi masyarakat miskin, pada informasi mengenai peraturan tentang
perumahan.
|
||||
|
Melalui pengembangan Kabupaten/Kota
Layak Anak (KLA), pemerintah membuat suatu upaya nyata untuk menyatukan isu
hak anak ke dalam perencanaan dan pembangunan kabupaten/kota. Mengingat
program pelayanan dasar perkotaan dipandang sebagai program khusus dan
merupakan kerangka kerja dari kantor pemerintahan kabupaten/kota,
Pengembangan KLA diimplementasikan melalui pemerintah kabupaten/kota yang
digabungkan ke dalam mekanisme dan kerangka kerja institusi yang ada.
Pengembangan KLA secara terus menerus diimplementasikan ke sejumlah bagian
kabupaten/kota yang terbatas dengan program pelayanan dasar perkotaan yang
secara maksimum didukung oleh sumber daya yang ada. Dengan mengintegrasikan
konsep perlindungan anak ke dalam program pembangunan kabupaten/kota akan
lebih mudah dibandingkan dengan merealisasikan Konvensi Hak Anak secara
langsung.
|
|||||
7.
|
Aspek Filosofis
|
|||||
|
Sila kedua dari Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia yaitu
“kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila kelima “keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia” secara filosofis telah mengamanatkan kepada kita
untuk mempertimbangkan secara sungguh-sungguh aspek kemanusiaan, keadilan dan
keberadaban dalam melaksanakan pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia.
|
|||||
|
Makna kata “bagi seluruh rakyat Indonesia” mengandung prinsip-prinsip
non-diskriminasi, pemerataan, dan tidak ada dominasi
|
|||||
|
Tanggung jawab pemerintahan kabupaten/kota didasarkan pada ketentuan :
|
|||||
|
a.
|
Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun
1945 menyebutkan bahwa “Tujuan Negara Indonesia adalah melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”;
|
||||
|
b.
|
Bab X A Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28B ayat (2) yang berbunyi “Setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
|
||||
8.
|
Aspek Sosiologis
|
|||||
|
Fenomena sosial yang ada memperlihatkan kondisi yang tidak kondusif bagi
tumbuh kembang anak, terutama dalam kehidupan keluarga, teman sebaya,
masyarakat, media massa dan politik.
|
|||||
|
Pada kehidupan keluarga terjadi pelunturan nilai-nilai kekeluargaan;
merenggangnya hubungan antara anak dan orang tua; anak dengan anak; dan antar
keluarga atau tetangga. Hal ini menyebabkan perlindungan anak belum terpenuhi.
Sikap permisif terhadap nilai-nilai sosial yang selama dianut mulai
ditinggalkan.
|
|||||
|
Pada kenyataannya hubungan sosial sebaya telah menyebabkan kekhawatiran
orang tua terhadap anak, ketika mereka berada di luar lingkup keluarga.
Beberapa kasus yang ditemukan menunjukkan bahwa banyak teman sebaya melakukan
tindakan di luar kepatutan seperti keterlibatan dalam kasus narkoba, seks
bebas, tindakan amoral dan asosial lainnya.
|
|||||
|
Pada kehidupan masyarakat, nilai-nilai kebersamaan dan kegotong-royongan,
serta kesetiakawanan sosial sudah menjadi sesuatu yang langka. Gejala ini,
terlihat dari ketidakpedulian pada kehidupan lingkungan sekitar, sehingga hal
ini menyebabkan kepedulian terhadap kesejahteraan dan perlindungan anak
kurang optimal.
|
|||||
|
Media massa dengan pewartaan dan penayangan kekerasan dan eksploitasi
terhadap anak menjadi hal yang biasa, tidak hanya di kota-kota besar tetapi
juga di pelosok. Hal ini menambah sederet persoalan yang juga mengganggu
tumbuh kembang anak.
|
|||||
|
Pada kehidupan politik, anak belum menjadi isu utama. Partai politik
sebagai agen perubahan belum mengakomodir kepentingan anak dalam programnya.
Sehingga isu kesejahteraan dan perlindungan anak kurang mendapat perhatian.
|
|||||
9.
|
Aspek Antropologis
|
|||||
|
Memudarnya nilai-nilai kebersamaan, paguyuban, dan kekerabatan, merupakan
salah satu faktor yang membuat menurunnya nilai-nilai yang selama ini
memberikan rasa nyaman bagi anak dalam masyarakat. Gejala ini tergambar dari
tanggungjawab masyarakat yang hanya lebih memfokuskan pada keluarga inti,
sehingga berbagai hal yang terjadi pada kerabat atau paguyuban kurang
mendapat perhatian pada masing-masing keluarga. Pranata sosial tidak mampu
mengakomodir kepentingan masyarakatnya, hal ini berdampak pada semakin tidak
optimalnya perlindungan anak.
|
|||||
|
Berkurangnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan menyebabkan
masyarakat menjadi tidak toleran dan lebih individual, sehingga akan muncul
kecemburuan sosial dengan persaingan yang tidak sehat. Lebih lanjut warga
menjadi semakin permisif dengan berbagai hal yang menyangkut nilai-nilai yang
selama ini tidak layak bagi anak. Kerentanan sosial juga berawal dari semakin
permisifnya atau semakin longgarnya nilai-nilai agama, adat istiadat, budaya
dan tata karma sosial dari para orang tua dan masyarakat terhadap berbagai
kebiasaan yang selama ini tidak layak dihadapi atau dilakukan oleh anak.
Pengaruh lingkungan sosial yang permisif ini sangat mempengaruhi
kesejahteraan dan perlindungan anak.Akibatnya, warga masyarakat dalam
berinteraksi dengan sesama lebih didasarkan kepada kepentingan dan bukan
tumbuh sebagaimana yang selama ini hidup dalam sebuah masyarakat yang
komunal.
|
|||||
|
Relasi sosial didasarkan pada solidaritas mekanik, dia ada karena adanya
kepentingan dari warga yang berelasi. Oleh karena itu dengan merenggangnya
nilai-nilai kebersamaan menyebabkan masing-masing warga lebih terfokus kepada
kehidupan masing-masing, tidak saling mengetahui apa sesungguhnya yang
terjadi pada warga lain bahkan tidak saling tegur.
|
|||||
10.
|
Sarana dan Prasarana
|
|||||
|
Pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi di perkotaan menuntut adanya
perencanaan pengembangan kabupaten/kota yang lebih cermat, baik secara fisik
maupun non fisik. Kenyataan yang ada, secara fisik lahan di perkotaan sangat
terbatas, sementara pemenuhan akan sarana dan prasarana yang layak merupakan
hal yang menjadi kebutuhan penduduk kabupaten/kota. Fakta menunjukan kualitas pelayanan publik kepada anak di
kabupaten/kota masih
terbatas, khususnya bila
ditinjau dari sisi sarana dan prasarana dasar, antara lain:
|
|||||
|
a.
|
beralih fungsinya ruang terbuka hijau menjadi ruang terbangun yang tidak
berorientasi pada kepentingan anak;
|
||||
|
b.
|
tidak seimbangnya sarana dan prasarana kabupaten/kota untuk kepentingan
anak bila dibandingkan dengan jumlah penduduk; dan
|
||||
|
c.
|
pembangunan sarana dan prasarana kabupaten/kota untuk kepentingan anak tidak
merata, akibat dari perencanaan yang belum peduli anak dan perkembangan
wilayah pemukiman baru yang tidak terkendali.
|
||||
|
d.
|
sarana dan prasarana yang tersedia perawatannya, kualitasnya semakin menurun.
|
||||
|
Anak, sebagai salah satu bagaian dari masyarakat kabupaten/kota, sering mengalami
dampak dari penurunan daya dukung sarana dan prasarana kabupaten/kota,
beberapa hal yang saat ini terlihat antara lain:
|
|||||
|
a.
|
minimnya sarana pendidikan, kesehatan, bermain, ruang terbuka hijau,
transportasi yang murah, aman dan nyaman bagi anak;
|
||||
|
b.
|
terbatasnya aksesibilitas anak terhadap sarana tersebut; dan
|
||||
|
c.
|
polusi dan tingkat kebisingan
|
||||
11.
|
Anak dan Pembangunan
Lingkungannya
|
|||||
|
Orang dewasa pada umumnya berpendapat bahwa pembangunan yang cocok bagi
dirinya, maka cocok pula bagi anak-anak, sehingga anak dipandang tidak
penting untuk didengarkan pendapat dan aspirasinya dalam merencanakan dan
menentukan arah pembangunan.
|
|||||
|
Sesungguhnya melalui wadah partisipasi anak, anak dapat diajak bekerjasama
dalam mengatasi persoalan-persoalan yang berhubungan dengan (pembangunan)
lingkungannya (Adams & Ingham,
1998:51). Pemerintah dapat berkomunikasi dengan mereka, karena mereka
mempunyai persepsi, pandangan dan pengalaman mengenai lingkungan kota tempat
mereka tinggal, sehingga pemerintah dapat menemukan kebutuhan atau aspirasi
mereka.
|
|||||
|
1)
|
Anak dan Lingkungan Tempat
Tinggal
|
||||
|
|
Hal yang perlu dilakukan agar anak akrab dengan lingkungan tempat
tinggalnya antara lain adalah:
|
||||
|
|
a.
|
keluarga perlu melakukan penerapan kombinasi pola asuh antara otoriter,
bebas dan demokratis secara seimbang dan konsisten, supaya kepercayaan diri
anak tinggi.
|
|||
|
|
b.
|
rumah yang layak huni adalah rumah yang menjamin keamanan, ketenangan dan
kenyamanan penghuni. Syarat rumah layak huni adalah status kepemilikan jelas
(milik sendiri, sewa, menumpang), kemudahan akses ke air bersih, listrik,
adanya pengelolaan sampah dan perawatan saluran pembuangan air kotor. Selanjutnya,
rumah itu berada di lingkungan yang bebas polusi dan memiliki standar
ventilasi yang cukup.
|
|||
|
2)
|
Anak dan Lingkungan Masyarakat
|
||||
|
|
Pada lingkungan masyarakat, diharapkan anak dapat lebih menyesuaikan diri
dengan lingkungan masyarakat, untuk itu perlu dilakukan adalah:
|
||||
|
|
a.
|
perlu ada inisiatif dan kemauan keras ketua RT dan RW untuk menjalankan
organisasi dengan membentuk kegiatan-kegiatan yang berdampak langsung pada
warga, khususnya anak-anak, seperti kerja bakti (membersihkan sampah dan
saluran pembuangan air kotor), dan siskamling. Tanpa inisiatif dan kemauan
tersebut, warga kota, menurut Prof.
Parsudi Suparlan (Suparlan, 1996:3-44)
menjadi bercirikan individualisme tinggi. Warga kota dengan ciri ini sangat
sukar untuk diajak bekerjasama;
|
|||
|
|
b.
|
menjaga sanitasi lingkungan, karena berdampak langsung pada kesehatan lingkungan,
terutama terhadap anak-anak yang rentan terhadap berbagai resiko yang
ditimbulkan oleh lingkungan; dan
|
|||
|
|
c.
|
untuk menjadikan lingkungan masyarakat sebagai tempat yang baik bagi anak
untuk tumbuh dan kembang, pemerintah kota perlu melakukan perbaikan-perbaikan.
Menurut Bartlett, anak-anak
memahami apa yang menjadi kebutuhan mereka di lingkungannya. Anak-anak
merekomendasikan dan memprioritaskan hal-hal penting yang perlu mendapat
perhatian dari orang dewasa, assosiasi masyarakat dan pemerintah kota.
Untuk memperbaiki masyarakat mereka. Perlu ada perbaikan, perawatan dan
pembaharuan terhadap saluran air, toilet yang tidak bau, bebas bau sampah;
tempat bermain dan rekreasi yang terang, bersama anak menentukan lokasi yang
sesuai untuk tempat bermain yang dekat dengan rumah dan sekolah; dan perlu
melakukan pengamanan yang ekstra di lingkungan yang pendapatan rendah, dan
memasang pengumuman tentang pemberian perlindungan terhadap anak dari
pembunuhan, kekerasan dan abuse.
|
|||
|
3)
|
Anak dan Lingkungan
Sekolah
|
||||
|
|
Lingkungan sekolah yang diharapkan anak adalah sebagai berikut:
|
||||
|
|
a.
|
mempunyai ruang WC yang menjadi salah satu fasilitas yang penting di
sekolah, sehingga perlu dipertimbangkan keberadaan dan kebutuhannya.
Anak-anak keberatan jika ruang WC anak perempuan dan anak laki-laki
disatukan. Dengan demikian akan melindungi anak-anak perempuan dari pelecehan
seksual;
|
|||
|
|
b.
|
desain bangunan sekolah bertingkat perlu dilengkapi ruang bermain bagi
anak yang aman dan nyaman di setiap lantai;
|
|||
|
|
c.
|
waktu sekolah pagi dan petang dipertimbangkan untuk diterapkan secara
bergantian, karena sangat berpengaruh pada proses belajar mengajar dan
kualitas murid. Sebagian besar murid-murid sekolah petang kurang optimal
mengikuti pelajaran, karena energi yang berkurang dan udara panas
mempengaruhi daya serap anak terhadap pelajaran;
|
|||
|
|
d.
|
perlu menggunakan metode Cara Belajar Siswa Aktif atau metode lain yang
memberi kesempatan anak untuk berdiskusi, perlu diterapkan agar anak-anak
terlatih mengemukakan pendapat atau gagasannya;
|
|||
|
|
e.
|
penyusunan peraturan dan tata tertib sekolah, pimpinan sekolah dan guru
perlu mengikutsertakan murid-murid, sehingga memiliki legitimasi yang kuat
saat diterapkan dan ditegakkan. Kegiatan ini melatih anak-anak mengenai
kehidupan berdemokrasi yang saling mendengar, dan menghargai pendapat orang
lain; Anak memiliki potensi dalam menyusun peraturan dan tata tertib yang
menyangkut kehidupan sendiri; contoh, melalui bermain mereka menyusun
peraturan yang disepakati dan dijalankan bersama, dan jika ada yang
melanggar, jelas ada sanksinya. Contoh lain adalah pembagian tugas piket
kebersihan yang mereka susun bersama ketua kelas, dijalankan secara
bersama-sama; dan
|
|||
|
|
f.
|
mempunyai “program makan di sekolah”, karena anak banyak mendapatkan
keuntungan yang dapat diperoleh dari program tersebut, selain mengembalikan
energi anak yang terpakai selama belajar, juga dapat meningkatkan gizi anak,
yang mungkin di rumah kurang memperoleh asupan makan yang bergizi. Kegiatan
tersebut menjadi ajang anak-anak saling bersosialisasi baik dengan teman
sekelas atau lain kelas. Di Indonesia, program ini pernah dilaksanakan
melalui program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah, tetapi dihentikan
sejalan dengan berakhirnya program Jaring Pengaman Sosial. Program makan di
sekolah semacam itu juga dilaksanakan oleh sekolah-sekolah seperti di Jepang
dan Malaysia.
|
|||
|
|
g.
|
Adanya program sekolah ramah anak
|
|||
|
4)
|
Anak dan Lingkungan
Bermain
|
||||
|
|
Pemerintah perlu mempelajari cara anak memenuhi hasratnya mendapatkan
tempat bermain dengan mengikuti cara anak, dan bersedia bekerjasama dengan
anak untuk menata ruang yang ada. Menurut Hendricks
(Hendricks: 2002:14) perencanaan
taman bermain yang ramah terhadap anak harus mempertimbangkan hasil
konsultasi dengan anak, seperti bagaimana mereka menggunakan ruang dan apa
yang mereka ingin lakukan, sehingga dalam proses pengembangannya tidak perlu
melakukan pengekangan terhadap anak. Proses konsultasi dengan anak harus
dilakukan dengan baik seperti yang dilakukan terhadap orang dewasa. Di
beberapa negara seperti Inggris, Belgia dan Belanda, telah banyak contoh
konsultasi yang dilakukan dengan anak mengenai tempat bermain (Hendricks: 2002:14).
|
||||
|
|
Topik penting yang perlu diperhatikan oleh perencana dan perancang ketika
melakukan diskusi dengan anak mengenai pembangunan taman bermain adalah
masalah keselamatan anak.
|
||||
|
|
Ada dua persoalan yang terkait dengan keselamatan anak:
|
||||
|
|
a.
|
dibutuhkan tindakan pencegahan dan tenaga profesional yang berpengalaman
untuk menjamin bahwa ruangan terbebas dari hal-hal berbahaya yang bisa
menyebabkan anak-anak mendapatkan luka serius; dan
|
|||
|
|
b.
|
orang dewasa, khususnya orang-tua anak dan pengawas tempat bermain diduga
juga berpotensi untuk membahayakan keselamatan anak dan membuat anak takut.
Persoalan ini menyangkut kasus child
abuse.
|
|||
|
|
Selain itu, perencana dan perancang perlu
mempertimbangkan pengamanan dan pengawasan terhadap anak. Menurut Sheridan Bartlett, dengan mempertimbangkan pengamanan dan
pengawasan terhadap tempat bermain anak, sehingga memungkinkan mereka merasa
tenang dan nyaman. Pemerintah kota perlu mempertimbangkan pengamanan dan
pengawasan di tempat bermain; meningkatkan keselamatan anak di tempat
bermain; dan termasuk melakukan kampanye terhadap larangan penggunaan bahan
berbahaya pada alat-alat permainan.
|
||||
|
5)
|
Anak dan Pelayanan
Transportasi
|
||||
|
|
Pemerintah kota agar menyediakan layanan transportasi yang
mempertimbangkan kebutuhan anak. Selain itu pemerintah kota dalam membuat
kebijakan mengenai transportasi umum, menurut Jill Swart Kruger dan Louise Chawla (Kruger, 2002:85) perlu:
|
||||
|
|
a.
|
memperkenalkan jarak, jenis dan ukuran transportasi
umum;
|
|||
|
|
b.
|
mempertimbangkan pembuatan tiket tunggal untuk
semua jenis transportasi umum; dan
|
|||
|
|
c.
|
mempertimbangkan penggunaan bus khusus pada hari
minggu dan libur untuk anak dan keluarganya ke tempat rekreasi.
|
|||
|
6)
|
Anak dan Pelayanan
Kesehatan
|
||||
|
|
Informasi mengenai kesehatan anak merupakan hal yang perlu diketahui oleh
seorang anak, supaya mereka mengetahui sumber penyakit, jenis penyakit dan
upaya pencegahannya. Melalui pemberian informasi kesehatan, seorang anak
secara bertahap belajar memahami mengapa seorang anak bisa sakit, dan
bagaimana mencegahnya Hasil belajar anak mengenai kesehatan anak,
menghasilkan persepsi anak mengenai kesehatan anak.
|
||||
|
|
Kehidupan anak berpusat pada rumah, sekolah dan lingkungan sekitarnya.
Karena itu, wilayah tersebut harus menjadi tempat yang aman dan sehat bagi
anak. Kenyataan, tak jarang tempat-tempat itu tidak aman bahkan menjadi
penyebab timbulnya penyakit bagi anak. Menurut WHO, sebagian besar penyakit
anak-anak berhubungan erat dengan lingkungan tempat mereka tinggal (rumah),
belajar (sekolah) dan bermain (masyarakat) (WHO, 2002:7). Resiko utama ditimbulkan oleh lingkungan seperti
air yang kurang bersih, sanitasi buruk, polusi udara, dan higiene makanan
yang buruk. Resiko lainnya ditimbulkan oleh serangga yang menjadi perantara
bibit penyakit; sedangkan tanah dan air merupakan perantara infeksi cacing.
Bahaya lain adalah kecelakaan dan kekerasan. Selain itu, permukiman yang
padat, ventilasi yang buruk, dan kurang air bersih untuk mencuci, mempercepat
penyebaran berbagai penyakit (UNICEF
& UNEP, 1990:25). Bagi masyarakat perkotaan, resiko juga ditimbulkan
dari kekurang hati-hatian dalam menggunakan bahan kimia yang berbahaya,
pembuangan sampah toxic dan
degradasi lingkungan. Pemakaian zat kimia yang tidak aman untuk produk rumah
tangga dan alat permainan anak seperti boneka, bisa pula menjadi sebuah
ancaman.
|
||||
|
|
Upaya kesehatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko lingkungan
terhadap kesehatan anak dan warga kota lainnya menurut Jorge E. Hardoy, dkk. Penulis buku “Environmental Problems in an Urbanizing World: Finding Solution for
Cities in Africa, Asia, dan Latin America,” adalah pencegahan penyakit
yang disebabkan oleh resiko lingkungan. Tindakannya dapat dilakukan di dua
tingkatan yakni rumah tangga dan masyarakat. Tingkat rumah tangga yang dapat
dilakukan dengan:
|
||||
|
|
a.
|
menyediakan air bersih;
|
|||
|
|
b.
|
tempat penampungan/tanki air selalu dibersihkan untuk menjaga higiene;
|
|||
|
|
c.
|
menyediakan fasilitas WC yang bersih;
|
|||
|
|
d.
|
mengatur pembuangan sampah dan air buangan; dan
|
|||
|
|
e.
|
melakukan kampanye dengan menyebarkan poster atau leaflet tentang desain kompor dan dapur.
|
|||
|
|
Sedangkan tindakan di masyarakat hampir sama dengan tindakan di rumah
tangga, tetapi sifatnya lebih ditingkatkan pada pengawasan dan penyediaan
fasilitas yang tidak tersedia di tingkat rumah tangga seperti sumur umum dan
MCK.
|
||||
|
7)
|
Anak
dan Masalah Sosialnya
|
||||
|
|
a. Anak
yang Berhadapan Dengan Hukum
|
||||
|
|
|
Berdasarkan hasil analisis situasi, dalam sistem
peradilan anak di Indonesia ditemukan lebih dari 4.000 anak dibawa ke
pengadilan setiap tahunnya. Sebagian besar pelanggaran yang dilakukan adalah
kejahatan ringan dengan jumlah kerugian yang sedikit. Tetapi hampir 9 dari 10
anak tersebut berakhir dipenahanan atau penjara anak, dan sebagian besar
harus tinggal bersama/dicampur dengan orang-orang dewasa (Sumber: Media Perlindungan Anak Konflik Hukum,
RESTORASI, edisi 9-IV/2008).
|
|||
|
|
|
Anak yang berkonflik
dengan hukum sebanyak 4.277 anak < 16 tahun sedang menjalani proses
pengadilan, anak yang dipenjara sebanyak 13.242 anak dengan variasi usia
antara 16-18 tahun, 98% diantaranya adalah anak laki-laki dan 83% yang
menjalani pengadilan di hukum penjara, jumlah anak di penjara usia < 18
tertinggi di Jakarta, Jabar, Jatim. Sumsel (Sumber: Bareskrim, Polri).
|
|||
|
|
|
Berdasarkan data dari
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM, tahun 2008
menunjukkan bahwa penghuni Lapas, Rutan dan anak binaan sebanyak 127.995
orang yang terdiri dari narapidana (73.686 orang) dan tahanan (54.309 orang).
Dari jumlah tersebut sebanyak 121.845 pria dan 6.150 wanita. Sedangkan jumlah
narapidana dan tahanan anak sebanyak 4.301 (3.36%) dengan rincian jumlah
narapidana anak 2.282 (Laki-laki 2.161; Perempuan 121). Tahanan anak sebanyak 2.019 orang
(Laki-laki 1.838; Perempuan 181). Anak-anak tersebut ditempatkan di 20 lapas
anak pria dan 1 lapas anak wanita.
|
|||
|
|
|
Perlindungan anak sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002, menjamin terpenuhinya hak anak sesuai harkat dan
martabat kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan dan
diskriminasi. Berdasar atas Pasal 64 Undang-Undang Perlindungan Anak
dinyatakan bahwa pemerintah dan masyarakat berkewajiban dan bertanggungjawab
untuk memberikan perlindungan khusus yang salah satunya adalah perlindungan
khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum, baik yang berkonflik dengan
hukum maupun anak korban tindak pidana.
|
|||
|
|
|
Perlindungan khusus bagi Anak yang berhadapan
dengan hukum dilaksanakan antara lain melalui perlakuan atas anak secara
manusiawi, sesuai dengan martabat dan haknya, penyediaan petugas pendamping
khusus sejak dini, penyediaan sarana dan prasarana khusus, penjatuhan sanksi
yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak, pemantauan dan pencatatan
terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum,
pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau
keluarganya, dan perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media masa serta
untuk menghindari labelisasi.
|
|||
|
|
b. Kekerasan Terhadap Anak
|
||||
|
|
|
Anak rentan menjadi obyek kekerasan, eksploitasi dan perlakuan salah.
|
|||
|
|
|
Banyak kasus yang menjadikan anak sebagai korban kekerasan baik secara
seksual, fisik, psikis, maupun penelantaran, selain itu, ada juga kekerasan
yang diakibatkan oleh kondisi sosial-ekonomi. Anak dianggap sebagai
komoditas, tenaga kerja murah, diperdagangkan, dilacurkan, dan terjerat dalam
sindikat pengedar narkoba, atau yang dipaksa berada di jalanan karena
berbagai sebab.
|
|||
|
|
|
Sementara
itu, penculikan terhadap anak-anak terjadi diberbagai tempat mulai dari
dijemput di sekolah, anak sedang bermain, anak sedang berekreasi, dan sedang
berada dalam rumah dengan berbagai modus operandi.
|
|||
|
|
|
Hasil penelitian yang dilakukan oleh UNICEF menunjukkan bahwa “Dua per
tiga anak laki-laki dan sepertiga anak perempuan pernah dipukul. Lebih dari
seperempat anak perempuan mengalami perkosaan.” Pada tahun 2003 yang
melibatkan sekitar 1.700 anak, terungkap bahwa “Sebagian besar anak mengaku
pernah ditampar, dipukul, atau dilempar dengan benda.”
|
|||
|
|
|
Awal 2006, terungkap kekerasan
terhadap anak di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. Di Jawa
Tengah, sebanyak 80 persen guru pernah menghukum anak-anak dengan berteriak
di depan kelas. Sebanyak 55 persen guru pernah menyuruh murid berdiri di
depan kelas. Di Sulawesi Selatan, sebanyak 90 persen guru pernah menyuruh
murid berdiri di depan kelas, 73 persen pernah berteriak kepada murid, dan 54
persen pernah menyuruh murid untuk membersihkan atau mengelap toilet. Di
Sumatera Utara, lebih dari 90 persen guru pernah menyuruh murid berdiri di
depan kelas, dan 80 persen pernah berteriak pada murid.
|
|||
|
|
|
Fakta-fakta di atas memperlihatkan bahwa potensi terjadinya kekerasan
berada disekitar kehidupan anak. Tidak tempat yang membuat anak terbebas dari
ancaman kekerasan dan eksploitasi. Kekerasan dan eksploitasi terhadap anak
akan melahirkan sederet penderitaan yang berkepanjangan yang tertanam dalam
benak anak baik secara fisik maupun psikis.
|
|||
|
|
|
Sebagian besar dari pelaku tindak kekerasan, ternyata dilakukan oleh
orang-orang terdekat korban, bahkan oleh orang tua sendiri, baik ibu maupun
bapak. Statistik menunjukkan bahwa, ternyata pelaku tindak kekerasan terhadap
anak dilakukan oleh lebih 80 % pelaku yang dikenal korban. Hal ini sesuai
dengan apa yang dilansir oleh Komnas Perlindungan Anak bahwa, lebih dari 69 %
pelaku tindak kekerasan terhadap anak adalah orang yang dikenal baik oleh
korban. Kenyataan ini setidaknya mengindikasikan bahwa pada sebagian keluarga,
rumah yang seharusnya menjadi tempat yang paling aman bagi anak, kini bukan
lagi merupakan tempat yang aman dan nyaman bagi anak, karena justru di rumah
sering terjadi tindak kekerasaan terhadap anak.
|
|||
|
|
c. Anak yang Memerlukan
Perlindungan Khusus
|
||||
|
|
|
a) Anak di Lokasi Bencana
|
|||
|
|
|
Anak di lokasi bencana menjadi sangat rentan karena mereka memerlukan
bantuan orang dewasa untuk: menyelamatkan diri, mendapatkan pertolongan
medis, shelter; dan kebutuhan
emergensi lainnya; rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.
|
|||
|
|
|
Antisipasi perlindungan anak di lokasi bencana harus disiapkan sebelum
bencana terjadi. Saat ini sebagian besar anak tidak mengetahui kemana dan
bagaimana memperoleh bantuan bila bencana datang.
|
|||
|
|
|
Lingkungan yang layak anak akan memperhitungkan dengan cermat hal-hal
semacam itu, termasuk antisipasi anak-anak menjadi korban perdagangan orang.
|
|||
|
|
|
Anak merupakan kelompok yang mendapat proritas sebagaimana diamanatkan
oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal
55 ayat (2).
|
|||
|
|
|
b). Anak
di Daerah Konflik Bersenjata
|
|||
|
|
|
Di daerah konflik bersenjata umumnya anak-anak
dimanfaatkan oleh kelompok yang sedang berkonflik untuk menjadi kurir,
benteng manusia dan tentara anak, biasanya yang memiliki badan besar walaupun
usianya masih belasan tahun.
|
|||
|
|
|
Selain bertentangan dengan undang-undang, hal
tersebut secara psikologis berdampak buruk pada anak, menimbulkan trauma yang
sangat panjang dan bisa jadi seumur hidupnya. Menyuburkan tumbuhnya budaya
kekerasan dari dan pada anak. Pelecehan seksual, perkosaan dan pedofilia,
merupakan bentuk kekerasan yang sangat ditakuti anak-anak.
|
|||
|
|
|
Strategi pembangunan yang peduli anak di daerah
konflik dapat mengurangi berbagai resiko fatal tersebut.
|
|||
|
|
|
c) Anak
Cacat
|
|||
|
|
|
Kondisi anak cacat relatif telah mendapat perhatian
dengan didirikannya berbagai panti dan pusat rehabilitasi, khususnya di
perkotaan.
|
|||
|
|
|
Namun akses anak cacat terhadap fasilitas umum
masih memprihatinkan, misalnya; tidak semua gedung, pasar, pusat
perbelanjaan, stasiun, terminal dan pelabuhan dilengkapi dengan akses bagi
anak cacat secara memadai.
|
|||
|
|
|
Dalam kehidupan sosialpun anak-anak cacat
diperlakukan sebagai warga Negara kelas dua atau kelas tiga. Terlihat jelas
adanya diskriminasi pada anak cacat.
|
|||
|
|
|
Undang-Undang mengamanatkan agar negara memberikan
perlindungan khusus pada anak cacat. Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 6
huruf b disebutkan bahwa anak penyandang cacat mempunyai hak yang san antuk
menumbuhkembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya dalam lingkungan
keluarga dan masyarakat.
|
|||
|
|
|
d) Anak
Jalanan
|
|||
|
|
|
Anak jalanan identik dengan masalah anak di
perkotaan, masalah ini semakin kompleks karena bukan saja faktor kemiskinan
yang menyebabkan anak menjadi anak jalanan, selain itu faktor sosial budaya
juga mempengaruhi.
|
|||
|
|
|
Anak jalanan menghadapi resiko yang lebih besar
menjadi obyek eksploitasi, kekerasan dan pelecehan seksual, kehidupannya
sangat rentan terhadap narkoba, premanisme dan kejahatan lainnya.
|
|||
|
8)
|
Kekuatan,
Peluang dan Tantangan
|
||||
|
|
a.
|
Kekuatan
|
|||
|
|
|
a)
|
Undang-Undang
Perlindungan Anak (UU PA) dan Rativikasi KHA.
|
||
|
|
|
|
Adanya UU PA dan rativikasi konvensi hak anak
merupakan kekuatan yang dapat dijadikan sebagai faktor pendorong pelaksanaan
kebijakan KLA.
|
||
|
|
|
b)
|
Peraturan
Daerah
|
||
|
|
|
|
Beberapa daerah telah memiliki peraturan daerah
yang mendukung, secara langsung maupun tidak, terhadap upaya perlindungan
anak. Hal ini merupakan indikasi yang positif terhadap pelaksanaan kebijakan
KLA
|
||
|
|
|
c)
|
Renstra
Kesejahteraan dan Perlindungan Anak
|
||
|
|
|
|
Isu kesejahteraan dan perlindungan anak telah masuk
dalam rencana strategis Kemeterian Negara Pemberdayaan Perempuan RI sehingga
pelaksanaan kebijakan KLA mendapat kepastian dari sisi prioritas dan
keberlanjutannya.
|
||
|
|
b.
|
Peluang
|
|||
|
|
|
a)
|
Pengetahuan
masyarakat meningkat
|
||
|
|
|
|
Semaraknya jumlah lembaga-lembaga sosial yang
bergerak di bidang pendidikan anak, seperti pendidikan anak usia dini (PAUD),
Taman Kanak-Kanak, Kelompok bermain
merupakan indikasi meningkatnya kesadaran masyarakat di bidang
perlindungan anak.
|
||
|
|
|
b)
|
Dukungan
lembaga internasional kuat.
|
||
|
|
|
|
Dukungan internasional, baik lembaga PBB maupun
Internasional NGO di bidang anak, telah memberikan dukungan kepada Pemerintah
Indonesia.
|
||
|
|
|
c)
|
Jumlah
ahli di bidang anak meningkat.
|
||
|
|
|
|
Semakin banyaknya jumlah ahli di bidang
perlindungan anak, semakin terbuka peluang bagi pelaksanaan kebijakan KLA
yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah kabupaten/kota.
|
||
|
|
c.
|
Hambatan
|
|||
|
|
|
a)
|
Kemauan
politik terbatas
|
||
|
|
|
|
Isu anak belum menjadi prioritas dari partai
politik, pembuatan dan pengambil kebijakan. Hal ini dikarenakan isu anak
kurang laku di jual, bila dibandingkan dengan isu ekonomi dan politik itu
sendiri, misalnya pilkada, pemekaran daerah.
|
||
|
|
|
b)
|
Belum
tersosialisasinya konvensi dan peraturan perundang-undang di bidang anak
|
||
|
|
|
|
Rendahnya frekuensi sosialisasi konvensi dan
peraturan perundang-undangan di bidang anak menyebabkan pemahaman dan
pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya perlindungan dan pemenuhan hak
terbatas.
|
||
|
|
d.
|
Ancaman
|
|||
|
|
|
a)
|
Kondisi
sosial ekonomi yang belum kondusif
|
||
|
|
|
|
Kebijakan KLA merupakan implementasi dari
perlindungan anak, jika kondisi sosial ekonomi tidak kondusif seperti
kemiskinan, krisis energi, maka pelanggaran terhadap hak anak meningkat, misalnya
anak putus sekolah, meningkatnya jumlah anak bekerja, selain itu kekerasan
terhadap anak meningkat.
|
||
|
|
|
b)
|
Adanya
resistensi budaya
|
||
|
|
|
|
Hingga saat ini masih banyak dijumpai adanya
kebiasaan mendidik anak dengan cara kekerasan, terutama pada pendidikan
informal, seperti semboyan “ada mutiara di ujung rotan’ pada pendidikan
keagamaan; mendisiplinkan anak dengan cara mengurung di kamar mandi bila ada
pelanggaran.
|
||
12.
|
STRATEGI
|
|||||
|
Menumbuhkan dan memaksimalkan peran kepemimpinan kabupaten/kota dalam memenuhi
hak anak.
|
|||||
|
Mengembangkan pendidikan dan kesadaran publik mengenai visi baru tentang
anak.
|
|||||
|
Mengembangkan kebijakan pemenuhan hak anak yang komprehensif.
|
|||||
|
Melakukan analisis situasi anak secara berkelanjutan untuk advokasi,
perencanaan, monitoring dan evaluasi.
|
|||||
|
Membuat laporan tahunan kabupaten/kota tentang anak.
|
|||||
|
Membangun kemitraan dan memperluas aliansi untuk anak.
|
|||||
|
Memberdayakan keluarga melalui kelembagaan dan program pembangunan
masyarakat.
|
|||||
|
Memperkuat jaringan untuk pemantauan pelaksanaan perlindungan anak dalam
situasi khusus.
|
|||||
|
Memperkuat peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan penegakan hukum.
|
|||||
|
Memberikan penghargaan kepada pimpinan daerah yang berhasil dalam
melaksanakan kebijakan KLA.
|
|||||
13.
|
INDIKATOR KEBERHASILAN
|
|||
|
a. Prinsip Kota Layak Anak
|
|||
|
Empat prinsip kunci Konvensi Hak Anak yang menjadi dasar membangun KLA:
|
|||
|
1)
|
Non-diskriminasi;
Pelaksanaan dan pengembangan kebijakan KLA dilaksanakan dalam rangka
perlindungan anak tanpa membedakan suku, ras, agama, jenis kelamin, status
social, asal daerah, kondisi pisik maupun psikis anak.
|
||
|
2)
|
Kepentingan yang terbaik bagi anak;
Menjadikan kepentingan yang terbaik bagi anak sebagai pertimbangan utama
dalam setiap pengambilan keputusan yang dilakukan oleh, pemerintah, badan
legislatif, badan yudikatif dan lembaga lainnya yang berhubungan langsung
maupun tidak langsung dengan anak.
|
||
|
3)
|
Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan;
Perlindungan hak asasi anak sebagai hak yang paling mendasar dalam
kehidupan anak yang perlu dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat,
keluarga dan orang tua.
|
||
|
4)
|
Penghargaan terhadap pendapat anak.
Penghormatan atas hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan
pendapatnya dalam penambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang
mempengaruhi kehidupan anak.
|
||
|
b. Pra-syarat Kota Layak
Anak
|
|||
|
Pra-syarat pengembangan KLA adalah:
|
|||
|
1)
|
Adanya Kemauan dan komitmen pimpinan
daerah: membangun dan memaksimalkan
kepemimpinan daerah dalam mempercepat pemenuhan hak dan perlindungan anak
yang dicerminkan dalam dokumen peraturan daerah.
|
||
|
2)
|
Baseline data: tersedia sistem data dan data dasar yang
digunakan untuk perencanaan, penyusunan program, pemantauan dan evaluasi.
|
||
|
3)
|
Sosialisasi hak anak: menjamin adanya proses penyadaran hak
anak pada anak dan orang dewasa secara terus menerus.
|
||
|
4)
|
Produk hukum yang ramah anak: tersusunnya peraturan perundangan yang
sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan hak anak.
|
||
|
5)
|
Partisipasi anak: tersedia wadah untuk mempromosikan
kegiatan yang melibatkan anak dalam program-program yang akan mempengaruhi
mereka; mendengar pendapat mereka dan mempertimbangkannya dalam proses
pengambilan keputusan.
|
||
|
6)
|
Pemberdayaan keluarga: adanya program untuk memperkuat
kemampuan keluarga dalam pengasuhan dan perawatan anak.
|
||
|
7)
|
Kemitraan dan jaringan: adanya kemitraan dan jaringan dalam
pemenuhan hak dan perlindungan anak.
|
||
|
8)
|
Institusi Perlindungan Anak: Adanya kelembagaan yang
mengkoordinasikan semua upaya pemenuhan hak anak.
|
||
|
c. Langkah-Langkah Pengemangan Kebijakan KLA
|
|||
|
1)
|
Pembentukan Gugus Tugas
“KLA”
|
||
|
|
Gugus Tugas KLA merupakan lembaga koordinatif yang beranggotakan wakil
dari unsur eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang membidangi anak,
perguruan tinggi, organisasi non pemerintah, lembaga swadaya masyarakat,
sektor swasta, orang tua, dan anak.
|
||
|
|
Tugas Pokok Gugus Tugas KLA adalah:
|
||
|
|
a)
|
Mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan dan pengembangan KLA;
|
|
|
|
b)
|
Menetapkan tugas-tugas dari anggota Gugus Tugas;
|
|
|
|
c)
|
Melakukan sosialisasi, advokasi, fasilitasi dan KIE konsep KLA;
|
|
|
|
d)
|
Mengumpulkan data dasar;
|
|
|
|
e)
|
Melakukan analisis kebutuhan yang bersumber dari data dasar;
|
|
|
|
f)
|
Melakukan deseminasi data dasar;
|
|
|
|
g)
|
Menentukan fokus dan prioritas program dalam mewujudkan KLA, yang
disesuaikan dengan potensi daerah (masalah utama, kebutuhan, dan sumber
daya);
|
|
|
|
h)
|
Menyusun Rencana Aksi Daerah KLA (5 tahun) dan mekanisme kerja;
|
|
|
|
i)
|
Menyiapkan Peraturan Daerah tentang Rencana Aksi Daerah KLA; dan
|
|
|
|
j)
|
Melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan minimal 1 tahun sekali.
|
|
|
2)
|
Pengumpulan Data Dasar
|
||
|
|
Pengumpulan data dasar dimaksudkan untuk mengetahui kondisi obyektif awal
sebuah kabupaten/kota sebagai dasar pertimbangan perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi pembangunan KLA. Pengumpulan data dasar dilakukan
oleh lembaga yang memiliki kompetensi dan otoritas di daerah yaitu Badan
Pusat Statistik Kabupaten/Kota.
|
||
|
3)
|
Penentuan Fokus dan
Prioritas Program
|
||
|
|
Memperhatikan hasil analisis data dasar, permasalahan dan potensi
kabupaten/kota ditentukan fokus dan prioritas program dalam mewujudkan KLA.
Program ini dimaksudkan supaya setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD),
pemangku kepentingan di bidang anak dan dunia usaha dapat berperan aktif
sesuai dengan tugas dan fungsinya.
|
||
|
4)
|
Rencana Aksi Daerah (RAD)
KLA
|
||
|
|
Untuk mempercepat pelaksanaan Program KLA secara terfokus dan berdasarkan
prioritas diperlukan adanya pembagian peran dan fungsi dari setiap Satuan
Kerja Perangkat Daerah, pemangku kepentingan di bidang anak dan dunia usaha
diuraikan secara sistematis, terstruktur dan terukur dalam RAD KLA.
|
||
|
|
Untuk memperkuat kedudukan Rencana Aksi Daerah KLA ditetapkan melalui
Keputusan Bupati/Walikota dan atau Peraturan Daerah.
|
||
|
|
Rencana Aksi Daerah KLA meliputi substansi pokok perlindungan anak yang
meliputi:
|
||
|
|
a.
|
telaah kebutuhan atau need assessment KLA;
|
|
|
|
b.
|
harmonisasi kebijakan perlindungan anak;
|
|
|
|
c.
|
pelayanan dasar, rujukan, penyelidikan epidemiologi, penanggulangan KLB
dan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan;
|
|
|
|
d.
|
pelayanan pendidikan dasar, menengah umum dan kejuruan, formal dan
informal;
|
|
|
|
e.
|
perlindungan anak di bidang hak sipil dan partisipasi, program bagi anak
yang memerlukan perlindungan khusus;
|
|
|
|
f.
|
pelayanan bidang perunahan, sarana dan prasarana lingkungan dan pelayanan
fasilitas umum;
|
|
|
|
g
|
pelayanan lingkungan hidup, kebutuhan dasar sanitasi dan penanganan
akibatnya.
|
|
|
|
Format RAD KLA dapat disesuaikan dengan matriks RAD dalam lampiranod.
|
||
|
5)
|
Monitoring dan Evaluasi
|
||
|
|
a.
|
Monitoring dilakukan sejak awal proses perencanaan sampai dengan
pelaksanaan RAD KLA yang dilaksanakan di tingkat kabupaten/kota.
|
|
|
|
b.
|
Evaluasi dilakukan secara periodik untuk melihat kemajuan pembangunan KLA
yang telah dicapai dalam kurun waktu satu tahun sebagai masukan bagi
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan periode berikutnya dan sebagai bahan
laporan.
|
|
|
|
c.
|
Laporan hasil monitoring dan evaluasi KLA diberikan kepada
Bupati/Walikota dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan sebagai wakil
Pemerintah yang menjadi koordinator di bidang kesejahteraan dan perlindungan
anak.
|
|
|
|
|
|
|